Tax Holiday 25 Tahun, Nikel Habis Sebelum Pajak Mengalir: Sebuah Ironi Negeri Tambang
"Sulawesi Tengah hancur karena tambang, tapi kami hanya dapat Rp200 miliar per tahun."
Kalimat itu meluncur lirih dari mulut Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, saat rapat dengan Komisi II DPR RI. Ucapan itu seketika membekukan ruang sidang, menampar logika kebijakan yang selama ini dibanggakan: hilirisasi nikel, magnet investasi asing, dan tax holiday yang nyaris tanpa batas waktu.
Pernyataan itu bukan sekadar keluhan emosional seorang kepala daerah, melainkan cermin pahit realitas di lapangan. Nikel yang seharusnya menjadi "emas baru" Indonesia, ternyata justru meninggalkan luka ekologis, memiskinkan daerah penghasil, dan ironisnya---menguntungkan lebih banyak pihak asing ketimbang rakyat sendiri.
Pahitnya Daerah Penghasil Nikel
Mari kita tarik fakta. Sulawesi Tengah, khususnya Morowali dan sekitarnya, kini jadi jantung industri nikel Indonesia. Smelter-smelter raksasa berdiri megah, mayoritas dimiliki investor asing, terutama dari Tiongkok. Mereka datang dengan modal, teknologi, dan janji investasi triliunan rupiah. Tetapi apa yang tersisa bagi daerah? Hanya sekitar Rp200 miliar dana bagi hasil (DBH) setiap tahun---jumlah yang tak sebanding dengan kerusakan lingkungan, banjir bandang, polusi udara, hingga hilangnya ruang hidup masyarakat adat.
Lebih ironis lagi, cadangan nikel di Morowali diperkirakan hanya cukup untuk 10 tahun ke depan. Namun, pemerintah pusat memberikan tax holiday hingga 25 tahun. Artinya, sebelum pajak benar-benar mengalir signifikan, cadangan sudah habis terlebih dahulu. Apa yang tersisa? Tanah gersang, laut tercemar, dan masyarakat yang merasa tertipu oleh janji manis hilirisasi.
Pajak di Mulut Tambang, Bukan di Mulut Industri
Gubernur Sulawesi Tengah mengungkapkan satu hal yang jarang disadari publik: pajak dikenakan hanya di mulut tambang, yaitu ketika bijih nikel (ore) diangkat dari tanah. Nilainya kecil, karena masih berupa bahan mentah. Begitu ore masuk ke smelter dan diolah menjadi Nickel Pig Iron (NPI) atau bahkan stainless steel, negara nyaris tidak mendapat apa-apa. Produk olahan sebagian besar diekspor ke Tiongkok, meninggalkan sedikit sekali manfaat bagi Indonesia.
Padahal, logikanya sederhana: semakin tinggi nilai tambah sebuah produk, semakin besar pula potensi pajak. Tetapi justru di titik paling strategis---saat ore berubah menjadi produk industri bernilai tinggi---pajak kita nihil. Inilah yang membuat gubernur mengeluh: daerah rusak, negara hanya dapat remah, sementara keuntungan besar mengalir keluar negeri.
Jokowi dan Hilirisasi: Antara Mimpi dan Realitas
Presiden Joko Widodo selalu menegaskan bahwa hilirisasi nikel adalah kebijakan strategis untuk meningkatkan nilai tambah. Benar, jika dihitung secara makro, ekspor produk olahan nikel melonjak dari Rp31 triliun (2015) menjadi Rp510 triliun. Penerimaan pajak dari sektor ini juga meningkat drastis, bahkan mencapai hampir 18 triliun pada 2022. Angka itu tak bisa dianggap kecil.