Udara malam itu bergetar dengan energi yang hanya bisa dihasilkan oleh cinta yang baru tumbuh. Elara menelusuri pinggiran gelas winenya, cahaya lilin memantul di dalam warna merah rubinya—mencerminkan rona merah di pipinya.
Di seberang meja bistro kecil itu, mata Liam menatapnya tajam, hangat, dan tak tergoyahkan. Tatapan yang membuatnya merasa seperti satu-satunya bintang di langit malam milik pria itu.
"Ceritakan lagi," pintanya lirih, nyaris tak terdengar di atas denting sendok garpu dan percakapan lembut yang memenuhi udara Paris yang romantis.
Liam meraih tangan Elara, menggenggamnya dengan lembut. Sentuhannya mengirimkan getaran ke seluruh tubuh Elara, perpaduan antara antisipasi dan kerentanan yang menyenangkan.
"Karena," ucapnya, suara rendah dan mendalam, "kamu melihat dunia dengan warna yang tak pernah aku tahu. Tawamu seperti musik, dan matamu... menyimpan semesta cerita yang belum sempat dituliskan."
Elara tertawa ringan, suara seperti angin musim semi yang menari di sela-sela dedaunan. "Kamu memang tak bisa diselamatkan," godanya, tapi hatinya mengembang oleh setiap kata yang diucapkan Liam, oleh setiap sentuhan lembut di kulitnya.
Cinta mereka mekar cepat—seperti mawar yang terbuka di bawah hangatnya matahari Paris. Hari-hari berubah menjadi malam penuh ciuman curian di bawah cahaya gemerlap Menara Eiffel, rahasia-rahasia yang dibisikkan di kafe sunyi, dan sore-sore santai menyusuri jalanan berbatu Montmartre yang memesona.
Liam, seniman yang sedang berjuang dengan jiwa penyair, melukis Elara dalam kehidupannya dengan sapuan penuh pemujaan. Elara, arsitek yang logis namun diam-diam romantis, larut dalam gairah yang dinyalakan pria itu dalam dirinya.
"Aku tak pernah menyangka bisa merasakan hal seperti ini," bisiknya suatu malam ketika mereka terbaring menyatu di atas selimut di Jardin du Luxembourg, aroma mawar menggantung di udara.
Liam menopang tubuhnya dengan satu siku, matanya dipenuhi kelembutan yang membuat napas Elara tercekat.