"Lha, kamu kan ambil foto cuma untuk update status atau pamer di medsos. Aku ambil foto untuk data tulisan," jawabku pada seorang kawan. Dia heran mengapa dia tidak bisa sedangkan aku bisa  membuat tulisan dari dokumen foto-foto ajang dan peristiwa hasil jepretan masing-masing. Â
Mengambil foto untuk update status dan untuk data tulisan mengandaikan dua pendekatan yang berbeda dengan maksud yang berbeda. Jika aku mengambil foto untuk update status, maka fokusnya adalah "aku" yang eksis di suatu ajang atau peristiwa. Maksudnya hanya untuk pamer kepada teman-teman via medsos: "Aku ada di sini, lho" atau "Aku bersama Si Anu, nih." Setelah pamer begitu, ya sudah, selesai di situ.
Beda halnya jika aku mengambil foto untuk data tulisan. Fokusnya adalah ajang atau peristiwa itu sendiri: apa yang dalam pandanganku menarik dari ajang atau peristiwa itu? Di dalam foto-foto seperti itu, tidak ada tempat untuk "aku". Â Sebab bukan "aku" yang penting melainkan ajang atau peristiwa.
"Memangnya kamu sudah tahu akan menulis apa saat mengambil foto-foto itu?" tanya kawanku itu menyidik. "Belum," jawabku pendek. Â "Lha, kok bisa foto-fotonya pas dengan teks tulisan?" kejarnya penasaran.
Nah, kalau soal itu perlu sedikit penjelasan, ya. Â
Ambil Fotonya Saja Dulu
Intuisi, itu kuncinya. Intuisiku mengatakan ajang atau peristiwa ini mengandung sesuatu yang menarik untuk dituliskan.Â
Tapi apa persisnya "sesuatu yang menarik" itu, aku belum tahu persisnya. Belum terpikirkan juga. Yakin saja ada sesuatu yang layak diceritakan di situ.
Dengan keyakinan intuitif semacam itu aku kemudian bertindak sebagai pengamat. Aku mengamati suatu ajang atau peristiwa di mana aku berada.
Sebagai pengamat tentu aku punya sebuah kerangka pengamatan dalam benakku. Kerangka itu mengarahkanku untuk menentukan sisi-sisi mana dari sebuah ajang atau momen-momen mana dari sebuah peristiwa yang perlu difoto.