Mohon tunggu...
aktif70
aktif70 Mohon Tunggu... Inisiator dan konseptor - Ketua umum Indonesia Contra Terror (ICT)

Hobi olah raga dan menulis, "kamu tidak belajar duduk di depan buku tapi di Medan perjuangan"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Divide et Impera dalam Aksi Bubarkan DPR

3 September 2025   02:24 Diperbarui: 3 September 2025   02:24 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gelombang demonstrasi bertajuk "Bubarkan DPR" tidak lahir dari ruang hampa. Ada sebab, ada pemicu, dan ada letupan emosi publik yang akhirnya tumpah ke jalanan.

Salah satu isu yang menyulut kemarahan rakyat adalah wacana kenaikan tunjangan rumah bagi anggota DPR. Angkanya fantastis: Rp50 juta per bulan, bahkan ditambah Rp3 juta per hari. Sementara di sisi lain, rakyat masih berjibaku dengan harga kebutuhan pokok, garis kemiskinan, dan pekerjaan yang serba sulit. Usulan itu terasa seperti ironi di tengah penderitaan.

Seolah belum cukup, publik juga disuguhi tontonan anggota dewan yang joget-joget tanpa beban di ruang sidang. Apakah itu hanya kebetulan atau justru desain yang sengaja dikemas untuk mempertebal amarah rakyat, hanya waktu yang bisa menjawab. Namun, yang pasti, dua peristiwa ini menyatu dalam imajinasi publik sebagai simbol: DPR jauh dari realita rakyat.

Maka tidak heran, ketika massa bergerak, energi emosionalnya besar sekali. Tapi di sinilah celah klasik Divide et Impera dimainkan.

Penyusup terlatih masuk, provokasi terjadi, keributan dengan polisi pecah, rumah anggota DPR dijarah, hingga muncul ajakan gila untuk membakar bandara. Framing pun bergeser: dari tuntutan politik menuju stigma anarkisme. Legitimasi moral rakyat runtuh di mata media dan publik luas.

Ironisnya, isu keterlibatan oknum TNI ikut dipicu. Inilah titik paling rawan: ketika TNI dan Polri didorong untuk saling curiga. Jika dua pilar negara ini retak, pemerintah akan terjebak dalam kegaduhan kelas tinggi.

Di balik layar, aktor-aktor yang piawai memainkan catur politik tentu tidak tinggal diam. Mereka cepat mencatat momen ini sebagai grain design untuk langkah berikutnya: rakyat sibuk dengan konflik horizontal, aparat sibuk saling tuduh, dan pemerintah sibuk menjaga citra. Hasil akhirnya: rezim terlihat gagal menjaga stabilitas, lalu narasi pergantian rezim pun muncul dengan sendirinya.

Pertanyaannya kini, apakah isu kenaikan tunjangan dan joget-joget dewan hanyalah kebetulan yang memperkuat kemarahan rakyat, atau memang bagian dari desain besar untuk menciptakan badai sosial politik? Yang jelas, Divide et Impera kembali membuktikan diri sebagai senjata paling tua sekaligus paling efektif untuk mengguncang sebuah bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun