Pada era digital, media sosial bagaikan pisau bermata dua. Ia bisa menjadi ruang untuk mengekspresikan diri, belajar, dan menjalin persahabatan. Namun, di sisi lain, ia juga dapat berubah menjadi arena yang kejam ketika digunakan untuk merundung, menyebar fitnah, bahkan menghancurkan kehidupan seseorang.
Fenomena inilah yang diangkat dalam film Cyberbullying, sebuah kisah reflektif yang tidak hanya menyuguhkan drama keluarga dan pertemanan, tetapi juga menggugah kesadaran kita tentang pentingnya kebijaksanaan di dunia maya.Â
Film yang diproduksi oleh DL Entertainment yang syutingnya dimulai awal April 2025 lalu. Seluruh proses produksinya dilakukan di Makassar, Sulawesi Selatan dengan arahan Rusmin Nuryadin selaku sutradara.
Film bertajuk Cyberbullying ini merupakan film ketiga dari DL Entertainment setelah merilis Pulang Tak Harus Rumah dan Keluar Main. Film ini akan mengangkat kisah perundungan digital yang dialami remaja di sekolah dan menekankan pentingnya pendidikan karakter yang menyoroti perjalanan seorang remaja bernama Neira.
Hidup Neira yang semula berjalan normal berubah drastis ketika ia menjadi korban perundungan di media sosial. Video yang menuduhnya dengan fitnah viral dengan cepat, mengundang cibiran, olok-olok, bahkan isolasi sosial. Beban mental yang menumpuk akhirnya membuat Neira mengalami depresi. Kehidupannya seakan runtuh, keluarganya terguncang, dan ia kehilangan rasa percaya diri.
Namun, film ini tidak berhenti pada sisi kelam saja. Dari titik terendah hidup Neira, penonton diajak melihat bagaimana dukungan keluarga, sahabat, dan cara menggunakan teknologi secara bijak dapat menjadi kunci pemulihan.
Dalam resensi ini, mari kita telusuri bagaimana Cyberbullying menggambarkan luka digital sekaligus menyalakan harapan baru.
Luka yang Membekas
Neira digambarkan sebagai sosok remaja yang rapuh setelah dihantam badai komentar negatif dan ejekan di dunia maya. Ia bukan hanya dihina, tetapi juga diperlakukan sebagai bahan tontonan oleh orang-orang yang tidak mengenalnya secara pribadi. Depresi yang dialaminya bukan sekadar kesedihan sesaat, melainkan kondisi serius yang membuatnya enggan berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
Ketika harus pindah sekolah demi menghindari tekanan yang semakin kuat, Neira tinggal bersama kakeknya, H. Mansyur, dan tantenya, Rani. Kehadiran keluarga ini penting, karena mereka tidak hanya menjadi tempat berlindung, tetapi juga bagian dari proses pemulihannya. Film ini dengan jeli menyoroti bagaimana lingkungan keluarga dapat berperan sebagai pelindung sekaligus penyembuh bagi korban perundungan.