Agar Awet Sepanjang Hayat
Kata “tulus” tidak bisa dimatematikakan. Ia memiliki ruang tersendiri dalam hati setiap insan. Arti tulus bagi seseorang belum tentu sama dengan arti tulus bagi orang lain. Karena itu, makna tulus sering kali menjadi bias dan kehilangan energi sakralnya. Hampir setiap orang mengaku tulus, tetapi persepsinya berbeda-beda. Tidak jarang, pembicaraan tentang ketulusan justru membuat kening berkerut.
Misalnya, ketika seorang suami berkata kepada istrinya:
"Sayang, aku sudah bekerja mati-matian siang dan malam, dengan setulus hati. Hargai dong ketulusanku. Rapikan rumah dan urus anak-anak, supaya saat aku pulang bisa menikmati suasana rumah yang apik."
Nah, suami seperti ini sebenarnya tulus yang bagaimana? Tulus, tapi menuntut. Ia membantu, tetapi ada syaratnya: “Kalau aku berkorban untukmu, maka kamu juga harus memenuhi tuntutanku.” Bukankah ini penistaan terhadap kata tulus?
Contoh lain: “Aku mencintaimu dengan setulus hati dan segenap jiwaku. Jadi, tolonglah bantu aku melunasi hutang-hutangku. Perhiasanmu kan banyak.” Lagi-lagi, kata tulus dipakai sebagai baju yang indah, padahal isinya hanyalah kepentingan pribadi.
Tidak heran, begitu mendengar kalimat “Aku mencintaimu dengan setulus hati,” sebagian orang hanya bisa tersenyum kecut. Sebab, kata tulus sudah tercemar dan kehilangan marwahnya.
Cinta yang Tulus Itu Tidak Menuntut
Saat kehidupan sedang dilanda penderitaan, di situlah ketulusan cinta diuji. Ujian itu berlaku bagi suami maupun istri. Seberapa kuat ketulusan cinta mampu bertahan, akan ditentukan oleh perjalanan waktu.
Sebagai kepala keluarga, memang wajar bila tanggung jawab kelangsungan hidup ada di pundak seorang suami. Kerja keras siang dan malam, bahkan ketika tubuh sakit, sungguh membutuhkan ketulusan yang berakar dalam hati. Namun, ketulusan sejati tidak akan menuntut pasangan hidup.