Lihat ke Halaman Asli

E. Niama

Psikologi dan Pendidikan | Tentor Akademik | Penulis Lepas | Pengamat Kehidupan dan Pendengar Cerita | Serta Seorang Intuitive Thinker

Quarter Life Crisis dan Seni Menemukan Sabar di Persimpangan Karier

Diperbarui: 25 September 2025   20:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Momen kontemplasi di tengah krisis karier usia 30-an, belajar berdamai dengan ketidakpastian. Credit: Pexel @Melike B

Pindah karier di usia 30-an bagiku bukan sekadar mengganti pekerjaan, melainkan perjalanan menemukan arti sabar, berdamai dengan ekspektasi, dan tetap menjaga api mimpi meski jalannya sering berliku. Ada pahitnya janji yang tak ditepati, kesempatan yang hilang tapi juga ada manisnya: keberanian, pengalaman, dan keyakinan bahwa tak ada kata terlambat untuk bangkit.

Mereka bilang usia 30-an adalah masa untuk "settle down" karir yang stabil, hidup yang mapan, segalanya sudah on track. Tapi bagaimana jika justru di usia inilah kita merasa paling tidak stabil? Bagaimana jika mimpi yang dulu dibangun begitu indah ternyata harus mengambil jalan memutar yang tak pernah terbayangkan?

Pertanyaan ini terus menggema di benakku, terutama ketika melihat teman-teman sebaya yang sudah stabil dengan karir mereka, sementara aku masih berkutat dengan ketidakpastian. Quarter life crisis, begitu orang menyebutnya. Fase di mana kita terjebak antara mimpi masa lalu dan realita yang harus dihadapi hari ini.

Sebagai seorang lulusan Psikologi yang kini berusia menjelang 30, perjalanan karirku jauh dari yang pernah kubayangkan. Dan mungkin, cerita ini akan terdengar familiar bagi kamu yang sedang berada di persimpangan yang sama.

Mimpi yang Belum Jadi Kenyataan

Dulu, setelah lulus S1 Psikologi, hidupku terasa begitu terarah. Punya rencana yang jelas: lanjut S2 Psikologi Murni, ambil profesi psikolog, lalu berkontribusi membantu orang-orang yang membutuhkan. Bayangannya mudah,  Tapi siapa sangka, realita hidup tidak selalu semulus apa yang direncanakan.

Setelah wisuda, bukannya langsung melanjutkan studi, aku malah harus "mampir" dulu ke bisnis keluarga. Menjadi admin keuangan pengelola bisnis pengiriman buah ke pedagang-pedagang di Pasar Induk Jakarta. Awalnya kupikir ini hanya sementara sambil menunggu waktu yang tepat untuk lanjut S2.

Yang "sementara" itu ternyata berlangsung selama tiga tahun.

Bekerja dengan keluarga memang ada plus minusnya. Plusnya: Ada rasa aman, ada keterikatan, waktu fleksibel, Tapi minusnya? Aku merasa terisolasi dari dunia profesional yang seharusnya. Tidak ada komunitas, tidak ada networking, bahkan ide-ide di kepalaku rasanya mulai "mati" karena terjebak dalam rutinitas yang itu-itu saja.

Zona nyaman yang awalnya terasa aman, perlahan berubah menjadi zona abu-abu yang menjebak. Aku merasa stagnan, tidak berkembang, dan yang tidak mengenakan merasa jauh dari passion yang seharusnya kujalani.

Percobaan Pertama: Hampir Sampai, Tapi...

Pada tahun 2023, akhirnya aku memberanikan diri untuk keluar dari zona abu-abu itu. Melamar menjadi guru BK di salah satu sekolah SD swasta favorit dan bergengsi di Semarang. Deg-degan? Pasti. Tapi ada excitement yang luar biasa karena akhirnya bisa menggunakan background psikologi yang sudah lama "menganggur."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline