Ketika Rumah Imajinasi Tersesat di Dunia Nyata
Nostalgia yang Tak Pernah Usang
Dulu, Disney bukan sekadar studio, tetapi ia adalah jendela dunia. Â
Setiap akhir pekan, anak-anak duduk rapi di depan televisi, menunggu kemunculan Mickey Mouse yang ceria, Donald Duck yang temperamental, dan Goofy yang kikuk tapi setia.Â
Di ruang keluarga, tawa pecah saat Tom mengejar Jerry, meski itu bukan Disney, tapi tetap jadi bagian dari ritual menonton bersama.
Lalu datang era The Lion King, Beauty and the Beast, Aladdin, dan Mulan, kisah-kisah yang bukan hanya menghibur, tapi mengajarkan keberanian, cinta, dan pengorbanan.Â
Lagu-lagu seperti "A Whole New World" dan "Circle of Life" menjadi soundtrack masa kecil yang tak terlupakan. Â
Di bioskop, anak-anak menggenggam tangan orang tua mereka saat Simba kehilangan ayahnya. Di rumah, mereka menirukan suara Ariel bernyanyi di bawah laut. Dan di sekolah, mereka menggambar kastil Cinderella dengan awan-awan harapan di sekelilingnya.
Disney adalah rumah bagi mimpi. Tempat di mana imajinasi bertemu nilai. Tempat di mana anak-anak belajar menjadi manusia, dan orang dewasa belajar kembali menjadi anak-anak.
Namun kini, rumah itu tampak goyah. Kompas ajaib yang dulu menuntunnya kini seperti hilang di tengah kabut zaman.
Ketika Keajaiban Berubah Menjadi Agenda
Film seperti Lightyear dan Strange World bukan hanya gagal secara finansial, mereka ditolak oleh publik. Adegan ciuman sesama jenis, karakter transgender, dan narasi yang dianggap terlalu ideologis membuat banyak negara, termasuk Indonesia, menolak menayangkannya.
Disney kehilangan pasar Asia, Timur Tengah, dan sebagian Amerika Latin. Bahkan di Amerika Serikat sendiri, kritik datang dari berbagai arah: konservatif, progresif, bahkan dari penggemar lama yang merasa "keajaiban" Disney telah berubah menjadi "agenda."