Suatu hari, ada seorang perempuan bernama Ifa. Dari luar, ia tampak hebat, ceria, dan bahagia. Senyumnya selalu lepas, seolah-olah hidupnya baik-baik saja. Namun, di balik keceriaan itu, tersimpan luka yang sangat mendalam. Luka yang ia simpan rapat-rapat, tersusun rapi, tanpa pernah ia ceritakan kepada siapa pun.
Hidup Ifa mulai berubah ketika ia merantau ke kota lain untuk melanjutkan pendidikan. Di tempat baru itu, ia bertemu dengan seorang teman bernama Ita. Berbeda dari orang lain, Ita bisa menerima Ifa apa adanya baik kelebihan maupun kekurangannya. Perlahan, Ifa merasa nyaman dan mulai berani membuka diri. Suatu ketika, Ifa menceritakan masa kecilnya. Ia selalu ingin merasakan hal yang sederhana, yaitu memiliki keluarga yang utuh dan merasakan kasih sayang dari ayah dan ibu. Sayangnya, sejak kecil ia harus menerima kenyataan pahit: kedua orang tuanya bercerai. Sejak itu, Ifa tinggal bersama kakek dan neneknya. Meski kadang masih bertemu ayahnya sebulan sekali, bahkan sesekali diajak jalan-jalan, jauh di lubuk hati Ifa tetap ada kerinduan akan hangatnya kebersamaan keluarga.
Di masa-masa terberatnya, Ifa pernah merasa sangat sendiri, putus asa, bahkan sempat terpikir untuk mengakhiri hidupnya. Namun, di tengah keputusasaan itu, ia sadar bahwa hal tersebut bukan jalan keluar. Ia memilih untuk bangkit, belajar menerima kenyataan, dan bertekad membuktikan bahwa meskipun berasal dari keluarga broken home, ia tetap bisa tumbuh menjadi pribadi hebat dan sukses.
Kisah Ifa hanyalah satu dari sekian banyak potret nyata anak broken home di luar sana. Tidak sedikit dari mereka yang harus menghadapi tekanan batin, stres, hingga depresi karena kehilangan sosok orang tua secara emosional. Kondisi ini jelas memengaruhi banyak aspek kehidupan: prestasi akademik, hubungan sosial, hingga kesehatan mental.
Beberapa anak bahkan mengalami gangguan emosi: ada yang menyakiti diri sendiri, ada pula yang melampiaskan rasa sakit ke orang lain. Perasaan tidak aman, kurang dicintai, atau kesepian sering menjadi akar dari perilaku tersebut. Tanpa pendampingan yang tepat, mereka berisiko terjerumus pada pergaulan bebas, seperti minum-minuman keras, balapan liar, atau bahkan judi.
Peran Keluarga dan Lingkungan
Di sinilah pentingnya peran orang tua, keluarga besar, maupun masyarakat. Mereka perlu hadir, peduli, dan mau mendengarkan. Caranya sederhana, meski membutuhkan niat tulus:
1.Ajak anak berbicara agar mereka berani terbuka.
2.Dengarkan keluh kesahnya tanpa harus terburu-buru memberi solusi.
3.Berikan dukungan emosional, bukan penghakiman.
4.Bantu membangun rasa percaya diri, agar mereka yakin bahwa mereka berharga.