Di tengah gejolak ekonomi yang semakin menekan, isu kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR RI tahun 2025 kembali menjadi sorotan pedas dari masyarakat. Saat rakyat kecil berjuang menghadapi inflasi, kenaikan harga bahan pokok, dan ketidakpastian pekerjaan, para wakil rakyat justru menikmati pendapatan bulanan yang melonjak hingga lebih dari Rp100 juta, termasuk tunjangan perumahan mencapai Rp50 juta. Kebijakan ini bukan hanya memicu kemarahan, tapi juga menimbulkan pertanyaan mendasar tentang keadilan sosial: apakah DPR benar-benar mewakili aspirasi rakyat, atau justru semakin jauh dari realita kehidupan sehari-hari?
Kontroversi ini mencerminkan ketimpangan yang dalam, di mana fasilitas mewah yang didanai oleh pajak rakyat bertabrakan dengan jeritan masyarakat yang terbebani biaya hidup. Aktivis sosial, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil tak henti-hentinya mengkritik, menuntut transparansi dan reformasi agar lembaga legislatif lebih akuntabel. Mari kita telusuri lebih dalam fenomena ini, mulai dari rincian tunjangan hingga respons DPR terhadap tuntutan publik.
Kenaikan Gaji dan Tunjangan Anggota DPR: Hal ini terutama terkait dengan tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan sebagai pengganti fasilitas rumah dinas yang sebelumnya diberikan. Anggota DPR dapat menghasilkan lebih dari 100 juta rupiah per bulan dengan bantuan tambahan seperti Tunjangan Melekat, Tunjangan Lain, Biaya Perjalanan
Di luar gaji pokok, sederet tunjangan membuat total penghasilan atau take home pay anggota DPR bisa menembus lebih dari Rp 100 juta per bulan. Berikut sejumlah tunjangan yang diterima anggota DPR RI:
1. Tunjangan MelekatÂ
- Tunjangan istri/suami: Rp 420.000
- Tunjangan anak (maksimal 2 anak): Rp 168.000
- Uang sidang/paket: Rp 2.000.000
- Tunjangan jabatan: Rp 18.900.000 (ketua), Rp 15.600.000 (wakil ketua), Rp 9.700.000 (anggota)
- Tunjangan beras: Rp 12.000.000
- Tunjangan PPh Pasal 21: Rp 1.729.000 -- Rp 2.699.813
2. Tunjangan Lain
- Tunjangan kehormatan: Rp 6.690.000 (ketua), Rp 6.450.000 (wakil ketua), Rp 5.580.000 (anggota)
- Tunjangan komunikasi: Rp 16.468.000 (ketua), Rp 16.009.000 (wakil ketua), Rp 15.554.000 (anggota)
- Tunjangan peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran: Rp 5.250.000 (ketua), Rp 4.500.000 (wakil ketua), Rp 3.750.000 (anggota)
- Bantuan listrik dan telepon: Rp 7.700.000
- Asisten anggota: Rp 2.250.000
- Tunjangan perumahan: Rp 50.000.000
- Fasilitas kredit mobil: Rp 70.000.000 per periode
3. Biaya Perjalanan
- Uang harian daerah tingkat I: Rp 5.000.000
- Uang harian daerah tingkat II: Rp 4.000.000
- Uang representasi daerah tingkat I: Rp 4.000.000
- Uang representasi daerah tingkat II: Rp 3.000.000
Dengan komposisi di atas, seorang anggota DPR yang sudah berkeluarga dengan dua anak bisa membawa pulang penghasilan sekitar Rp 116,21 juta per bulan. Jumlah tersebut belum termasuk fasilitas kredit mobil maupun biaya perjalanan dinas. Ini menciptakan perbedaan yang signifikan jika dibandingkan dengan pendapatan masyarakat umum yang tengah menghadapi inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Ketidakadilan dan Kritik Publik: Rakyat menanggapi kenaikan penghasilan ini dengan sangat keras, karena mereka semakin terbebani oleh kebijakan ekonomi dan pajak yang tidak menentu. Organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan mahasiswa mengencam peningkatan tunjangan ini. Kebijakan ini dianggap tidak menunjukkan kepedulian DPR terhadap masalah sosial-ekonomi dan ekonomi rakyat kecil yang berjuang. Bahkan, fakta bahwa fasilitas mewah tersebut didanai oleh pajak rakyat menimbulkan pertanyaan etika. Selain itu, demonstrasi sempat berkembang menjadi cara umum untuk menyuarakan ketidakadilan ini.
Tuntutan mahasiswa dan keinginan mereka untuk menjadi agen perubahan yang transparan akan memainkan peran penting dalam menangani masalah ini. Mereka menuntut DPR untuk menjadi jujur tentang rincian gaji dan tunjangan. Mereka juga ingin menilai kembali jumlah tunjangan yang dianggap berlebihan saat ini. Lebih dari itu, siswa mengingatkan bahwa peningkatan kompensasi yang diterima anggota DPR harus dibarengi dengan peningkatan kinerja yang nyata dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Peningkatan gaji ini hanya merupakan bukti ketimpangan sosial dan penurunan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif jika tidak ada perbaikan signifikan dalam kinerja dan akuntabilitas DPR.