Lihat ke Halaman Asli

Ontologi Kebahagiaan; Antara Delusi Materialisme dan Idealisme di Era Pos-Truth

Diperbarui: 3 Januari 2021   17:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh Najmah (20 Desember 2020)

Makna dari kebahagiaan pada diri setiap manusia tidaklah sama. Ada manusia yang beranggapan bahwasanya kebahagiaan itu terletak pada kekayaan yang menumpuk dan jabatan yang tinggi, ada juga manusia yang beranggapan bahwa kebahagiaan itu bisa terwujud manakala terpuaskannya seluruh hasrat atau keinginan-keinginan, ada manusia yang beranggapan bahwa letak kebahagiaan itu sesungguhnya ada pada hati dan jiwa, serta ada pula manusia yang beranggapan bahwa kebahagiaan itu terwujud manakala justru ia bisa membahagiakan orang-orang yang ada di sekitarnya. Tentu saja diantara devinisi sederhana di atas masih menyisakan ruang dan rongga terhadap penafsiran dan makna dari kebahagiaan.

Bagi manusia yang beranggapan bahwa kebahagiaan itu ada pada kekayaan yang menumpuk dan jabatan yang terpandang, maka pasti dirinya akan memusatkan segala daya dan upaya untuk mencari dan mengumpulkan kekayaan serta berupaya untuk meraih jabatan yang tinggi. Ia bisa menghabiskan seluruh waktu dan tenaganya hanya untuk mencari dan mengumpulkan kekayaan.

Dia juga bisa saja melakukan berbagai macam cara untuk bisa mendapatkan kedudukan atau jabatan yang tinggi di mata manusia lainnya. Manusia yang seperti ini akan dengan mudah menghabiskan masa hidupnya dan mengenyampingkan hal-hal di sekitarnya hanya demi mendapatkan apa yang dia inginkan sebagai konsekuensi apa yang dia yakini walaupun bisa saja dalam prosesnya bertentangan dengan norma dan agama.

Hal demikianlah yang mendasari adanya sebagian manusia yang begitu mendewakan kekayaan dan kedudukan, bahkan tidak sedikit pula manusia yang terjerumus ke dasar lumpur jurang yang penuh kesesatan. Sehingga pula bukan hal yang aneh ketika kita mendengar ada manusia yang sampai hati melakukan perbuatan yang tercela sampai terjerumus ke dalam penjara karena menhalalkan segala macam cara dalam menumpuk kekayaan ataupun mendapatkan jabatan.

Manusia yang beranggapan bahwa kebahagiaan itu bisa terwujud manakala terpuaskannya seluruh hasrat atau keinginan-keinginan, maka ia akan melakukan daya dan upayanya agar terpenuhi segala apa yang menjadi hasrat dan keinginannya. Dia bisa melakukan apapun yang ia inginkan walaupun hal tersebut berbahaya ataupun bertentangan dengan norma dan aturan. Baginya kepuasan adalah hal yang paling utama sebagai konsekuensi dari hasrat dan keinginan hatinya.

Untuk manusia yang beranggapan bahwa letak kebahagiaan itu sesungguhnya ada pada hati dan jiwa dia akan mencari segala macam kondisi yang akan membuat hatinya merasa tenang dan damai. Sering kali dirinya merasa abai terhadap realitas keduniaan yang berada di luar dirinya, oleh sebab itu dia juga bisa meninggalkan hiruk pikuk kehidupan.

Manusia yang berpandangan seperti ini lebih memilih mengasingkan diri hanya untuk mencari ketenteraman dan kedamaian jiwanya. Itulah yang menjadi penyebab bagi sebagian manusia yang menghabiskan masa hidupnya demi menempuh jalan sufi, tarekat, samsara, ataupun yang lainnya.

Sedangkan bagi manusia yang beranggapan bahwa kebahagiaan itu terwujud manakala justru ia bisa membahagiakan orang-orang yang ada di sekitarnya, maka dia akan senantiasa menjadikan dirinya sebagai kemanfaatan bagi orang-orang yanag ada di sekelilingnya.

Segala macam daya dan upaya akan dia kerahkan demi kesejahteraan dan kebahagiaan orang-orang yang ada di sekitarnya, dia bahkan tidak segan untuk mengorbankan kepentinganya dirinya demi mengutamakan kepentingan orang-orang yang ada di sekitarnya yang bisa saja merupakan keluarganya, sahabtanya, atau pula tetangga dan handai taulan.

Kebahagiaan (happiness/Assa'aadah) hakikatnya lebih merujuk pada kondisi batin atau jiwa seseorang yang diwujudkan menjadi kesenangan, cinta, kepuasan, kenikmatan, ataupun kegembiraan. Dalam keadaan-keadaan tertentu manusia bisa saja merasakan kesenangan ketika dia mendapatkan uanag yang banyak, diberikan kenaikan jabatan, makan hidangan yang lezat, bertemu atau berkumpul dengan orang-orang yang dicintai, bepergian ke tempat yang dipenuhi pemandangan dan suasana yang indah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline