Ada satu siang ketika saya terpaku menonton tayangan berita KompasTV di YouTube. Ribuan korban keracunan massal di Cipongkor, Bandung Barat, diturunkan dari ambulans dengan tandu. Anak-anak, orang tua, sampai remaja, bergelimpangan di kursi plastik, sebagian masih meringis kesakitan. Suasana GOR yang penuh sesak menjadi saksi, sementara jurnalis dari berbagai media sibuk merekam, mewawancarai, menyalakan kamera, dan menulis cepat di ponsel mereka.
Saya hanya bisa duduk di rumah, menyimak dari layar laptop. Padahal dulu, ketika masih jadi wartawan lapangan, saya pasti sudah berada di sana sejak pagi, bahkan mungkin bermalam demi tidak ketinggalan update. Tapi kali ini, saya memilih diam.
Pertanyaan itu kemudian muncul di kepala: "Kenapa seorang penulis freelance, yang dulunya rela meliput apa pun, justru tidak turun ketika ada peristiwa sebesar ini di depan mata?"
Kenangan Lama di Lapangan
Dulu, di Bekasi, saya pernah ikut liputan kecelakaan beruntun. Korban terpencar ke berbagai rumah sakit. Malam itu saya mondar-mandir dari satu RS ke RS lain hanya demi memastikan nama korban tidak salah tulis. Bahkan sampai subuh baru selesai.
Di Karawang, saya masih ingat ketika pesawat latih mendarat darurat di tol. Saya berangkat tanpa mandi, hanya sempat cuci muka, demi tidak ketinggalan momen pertama. Begitu sampai, kamera sudah terangkat tinggi, jurnalis berdesakan mencari sudut terbaik. Itu bukan hanya liputan, tapi semacam arena gladiator: siapa cepat, dia dapat.
Di Bandung, saya pernah harus berebut tempat liputan dengan belasan media lain saat seorang pejabat melakukan inspeksi mendadak. Bahu ditabrak, kaki terinjak, semua biasa. Yang penting berita naik, kantor puas.
Semua itu dulu saya jalani dengan penuh semangat. Waktu itu, idealisme masih meledak-ledak. Rasanya, tidak ada peristiwa yang boleh terlewat, tidak ada medan liputan yang terlalu berat.
Antara Idealisme dan Realitas
Tapi keadaan saya sekarang berbeda. Dulu, ketika bekerja penuh di media, semua biaya liputan ditanggung kantor. Ada uang transport, ada makan siang, bahkan kontrakan pun ditopang gaji bulanan. Mau liputan sampai malam, ada rekan kerja yang bisa gantian.
Sekarang? Freelance. Semua ongkos liputan harus keluar dari kantong sendiri. Lembang--Cipongkor itu jaraknya sekitar 60 kilometer sekali jalan. Kalau berangkat pagi, mungkin pulang sudah malam. Kalau situasi lapangan belum kondusif, bisa jadi harus bermalam.
Hitung-hitungan sederhana saja: bensin, makan, tenaga, waktu. Sementara honor tulisan tidak sebanding dengan biaya keluar. Di titik ini, saya harus memilih: apakah idealisme masih bisa jadi alasan, atau saya harus realistis dengan isi dompet?