Salah satu alasan terbaik mengapa orang harus membaca buku pernah disampaikan oleh seorang Raditya Dika. "Membaca buku (terutama non fiksi) adalah Return on Investment (ROI) terbaik yang bisa kita lakukan dengan waktu kita." ujarnya menanggapi pertanyaan dari Andovi Da Lopez terkait pejabat publik yang tidak suka membaca.
Pendapat Radit ini cemerlang karena melihat kegiatan membaca sebagai bentuk investasi yang menjanjikan karena dijamin pasti untung atau tidak akan rugi. Artinya adalah orang yang tidak mengambil kesempatan itu bisa dibilang kurang beruntung, kurang bijak, kurang....hm....pintar. Ya saya sedikit sungkan mengatakannya, pasalnya kita sedang membahas pejabat.
Alasan yang saya rasa paling tepat sasaran untuk pejabat ya itu. Apalagi kita tahu pejabat kita gemar itung-itungan ala ROI seperti seberapa efisien atau menguntungkan suatu investasi dibanding biaya yang dikeluarkan? Seberapa untung pendapatan bulanan pejabat dibanding biaya nyaleg yang sudah dikeluarkan? eh.
Jadi soal buku pun kita harus memberi penjelasan kepada mereka terkait untung dan ruginya, agar mudah dipahami.
Saya yakin harga buku itu tidak seberapa bagi para pejabat dibanding manfaat yang nantinya bisa mereka dapatkan. Banyak hal memuat untung rugi, nyaleg misalkan. Bisa untung tapi bisa juga malah buntung tapi kalau membaca saya jamin sudah pasti untung.
Ini juga bisa jadi solusi bagi para pejabat yang gemar flexing. Saya paham bahwa sebagai manusia biasa kita punya naluri untuk memamerkan dan membanggakan sesuatu. Bisa pencapaian, jabatan, kinerja, status sosial hingga barang-barang mewah yang sudah berhasil dimiliki.
Para pejabat juga manusia makanya butuh flexing, sayangnya banyak dari mereka yang memilih barang mewah untuk dipamerkan dibanding pencapaian atau kinerja yang sudah dilakukan. Nah, buku-buku bisa jadi solusi baru. Tak akan dihujat seorang pejabat jika ia kerap memposting buku di media sosialnya. Tak ada satu pun rakyat yang cemburu ketika melihat pejabatnya membaca buku.
Buku menjadi jembatan paling ramah antara pejabat dengan rakyat. Sama-sama bisa dimiliki, sama-sama bisa dibaca seolah kita hidup di level dan pengetahuan yang sama. Ya, itu kalau para pejabat mau disamakan dengan rakyat jelata semacam kita.
Para pejabat tak perlu sungkan atau malu, banyak pejabat dan tokoh negara kita dahulu yang juga kutu buku. BJ Habibie misalnya. Presiden ke 3 kita ini bisa menghabiskan waktu 7.5 jam dalam sehari untuk membaca. Bayangkan Pak, Bu, sehari ada 24 jam dan 1/3nya beliau pakai untuk membaca buku. Saya saja yang mengaku suka membaca tak mampu segetol itu. Sehari paling cuma bisa baja sejam dua jam.
Tak hanya Habibie, tokoh sekelas Bung Hatta juga tak bisa lepas dari buku-buku. Wapres pertama republik ini bahkan pernah membawa buku sebanyak 16 peti ketika diasingkan ke Banda Neira dan Boven Digul. Kecintaan Bung Hatta terhadap buku memang tak diragukan, bahkan ada ungkapan beliau yang cukup terkenal, "Aku rela dipenjara bersama buku, karena dengan buku aku bebas." Tak sekadar ucapan, Bung Hatta bahkan telah membuktikannya di tempat pengasingan!