Selama ini, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sering disebut sebagai “tulang punggung perekonomian nasional”.
Julukan ini bukan tanpa alasan UMKM menyumbang lebih dari setengah Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan menyerap lebih dari 90% tenaga kerja nasional.
Namun di balik data dan istilah ekonomis itu, UMKM sesungguhnya jauh lebih dari sekadar penopang. UMKM adalah wajah nyata ekonomi rakyat.
Mereka bukan bagian pinggiran dari sistem ekonomi, melainkan denyut utamanya. Di pasar tradisional, di teras rumah, di gang sempit, hingga sudut kota, UMKM hidup dan tumbuh bersama masyarakat.
Di balik setiap warung kelontong, jasa cuci motor, penjual kue rumahan, atau bengkel kecil, terdapat cerita tentang kerja keras, ketekunan, dan harapan.
Sayangnya, peran penting UMKM kerap kali hanya diangkat saat krisis melanda sebagai penyelamat ekonomi yang tangguh menghadapi badai. Tapi ketika keadaan stabil, UMKM sering kembali luput dari prioritas pembangunan.
Bukan Bisnis Besar, Tapi Berdampak Besar
Berbeda dengan perusahaan besar yang mengandalkan sistem, teknologi, dan modal kuat, UMKM justru bertumpu pada kedekatan sosial, fleksibilitas, dan semangat mandiri.
Mereka tumbuh dari inisiatif sederhana sering kali bermodal nekat dan kreativitas. Tidak ada tim pemasaran profesional, tidak ada investor besar di belakang layar, hanya ada satu hal yang menjadi kekuatan utama, kemauan untuk bertahan dan berkembang.
Misalnya, seorang ibu rumah tangga yang mulai menjual kue basah dari dapur rumahnya, atau seorang pemuda desa yang membuka jasa servis motor dengan peralatan seadanya.