Gambar ilustrasi ini menampilkan enam sosok penulis dari latar yang beragam, berkumpul mengelilingi huruf-huruf besar "KOMPASIANA" yang berdiri kokoh di atas panggung kayu tua. Ekspresi mereka, dari cemas, merenung, hingga harap, mewakili semangat komunitas yang sedang berjuang merawat rumah bersama. Warna hangat dan tekstur latar memberi nuansa harapan di tengah keprihatinan.
Ketika artikel saya sebelumnya, "Menelaah Berita Angin Kebangkrutan Kompasiana; Apakah Kompas Gramedia Peduli?" tayang di Kompasiana, saya tidak menyangka bahwa resonansinya akan begitu luas dan dalam.Â
Artikel itu lahir dari cinta, bukan dari amarah. Ia adalah panggilan untuk merawat rumah bersama yang selama ini menjadi ruang tumbuh, ruang kritik, dan ruang refleksi publik.
Dan alhamdulillah, panggilan itu dijawab. Bapak Nurulloh, perwakilan manajemen Kompasiana, menyampaikan klarifikasi yang jujur dan terbuka.Â
Beliau mengakui keterlambatan pembayaran K-Rewards sebagai kekeliruan internal akibat sistem baru di bagian keuangan yang belum memahami ritme arus kas unit Kompasiana.Â
Lebih penting lagi, beliau menyampaikan permohonan maaf atas kurangnya komunikasi yang menyebabkan spekulasi dan kegaduhan.
Kami menyambut klarifikasi ini dengan senang hati. Karena dalam dunia digital, seperti yang dikutip oleh Opa Sirpa dari Los Angeles, "krisis komunikasi bisa lebih berbahaya daripada krisis finansial." Dan ketika pengelola berani hadir dan menjelaskan, maka harapan itu belum padam.
Suara-suara dari Komunitas: Cinta yang Tak Pernah Hilang
Komentar-komentar dari para Kompasianer menunjukkan bahwa keresahan ini bukan milik satu orang, melainkan gema kolektif:
- Pak Tuhombowo Wau menulis, "Kompasiana bisa eksis dan jadi sebuah anak usaha berkat para penulis. Apa yang mau dikelola kalau tidak ada penulis?" Sebuah pengingat bahwa konten bukan datang dari sistem, tapi dari jiwa-jiwa yang menulis dengan cinta.