Teladan Nabi Muhammad Menyikapi Kritik, Masih Relevan di Era Demokrasi Modern?
"Kesabaran adalah perhiasan jiwa, bukan tanda kelemahan."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Bagaimana seharusnya kita bersikap ketika menghadapi kritik, tuduhan, atau perlakuan yang kasar? Pertanyaan ini kembali relevan ketika Republika (29 Agustus 2025) menurunkan laporan berjudul Teladan Nabi Muhammad SAW Saat Menyikapi Kritik. Isinya mengingatkan bahwa Nabi SAW menghadapi ujian kritik, namun tetap merespons dengan penuh kearifan.
Fenomena ini terasa urgen ketika kita melihat eskalasi sosial di tanah air. Pada hari yang sama, unjuk rasa di Semarang berakhir ricuh setelah seorang pengemudi ojek online meninggal akibat tertabrak mobil taktis. Gas air mata, amarah massa, hingga kemarahan publik menjadi cermin rapuhnya kontrol emosi dalam ruang publik kita.
Penulis tertarik mengulasnya karena nilai yang diajarkan Nabi SAW tetap abadi lintas zaman. Teladan beliau mengajarkan cara elegan menghadapi kritik, bahkan dari lawan yang keras kepala sekalipun. Relevansi ajaran ini semakin terasa saat masyarakat modern sering terjebak dalam sikap defensif, reaktif, bahkan destruktif ketika menerima kritik.
1. Kritik Kasar yang Dibalas Senyum
Nabi Muhammad SAW pernah ditarik kasar jubahnya oleh seorang rabi Yahudi bernama Zaid ibn Sun’ah yang menagih utang. Ucapan yang dilontarkan pun kasar, menyebut Nabi membuang-buang waktu. Umar bin Khattab, sahabat Nabi, sempat marah dan hampir bertindak keras.
Namun, Nabi tidak membalas dengan kemarahan. Beliau justru menegur Umar agar bersikap lebih baik, lalu menasihatinya untuk mengingatkan Nabi melunasi utang tepat waktu. Sikap ini menunjukkan keteladanan dalam menghadapi kritik, bahkan jika disampaikan dengan cara tidak pantas.
Pelajaran penting dari peristiwa ini adalah kontrol diri. Kritik sekeras apapun tidak sepatutnya dibalas dengan emosi. Justru, respon positif dapat mengubah situasi yang tegang menjadi ruang pembelajaran.