Yani duduk di balik jendela kosnya, menatap langit kelabu yang seolah mencerminkan perasaannya: lelah, mendung, dan enggan bicara. Selama berbulan-bulan, ia bertahan dalam hubungan yang membuatnya ragu pada dirinya sendiri. Ia merasa kecil, terus-menerus disalahkan, dan kerap minta maaf atas hal-hal yang bahkan tidak ia pahami. Setiap kali ia mencoba jujur, ia malah dianggap terlalu sensitif. Hingga suatu malam, ia menerima pesan dari Husen---teman yang diam-diam memahami luka yang ia simpan. Pesan dari Husen menyadarkannya bahwa hubungan yang sehat tidak mungkin tumbuh jika terus-menerus saling menyalahkan. Pesan itu sederhana, namun menamparnya pelan, membangunkannya dari kebingungan yang selama ini menyesakkan.
Malam itu, Husen kembali mengirim pesan yang mengingatkan Yani bahwa orang terpenting dalam hidup bukanlah orang lain, melainkan diri sendiri. Ia membaca pesan itu perlahan, mencoba memaknai setiap kalimat yang terasa seperti pelukan: bahwa pelukan terhangat tidak selalu datang dari tangan orang lain, tapi dari hati yang bersedia menerima kekurangan dan kelebihan diri. Untuk pertama kalinya, Yani tidak menangis. Tapi ada bagian dalam dirinya yang selama ini kering, tiba-tiba terasa hangat. Ia mulai belajar untuk berhenti menyalahkan diri sendiri, dan menerima bahwa merasa lelah bukanlah kelemahan. Ia mulai memberi ruang bagi dirinya untuk istirahat dan pulih.
Suatu malam saat hujan turun pelan, Husen mengirimkan pesan suara yang menyinggung tentang bagaimana orang sering dikira kuat hanya karena mampu tersenyum dan tidak mengeluh. Ia mengingatkan Yani bahwa memaksakan bahagia bisa menjadi beban tersendiri---sesuatu yang dikenal sebagai toxic positivity. Yani terdiam, mengingat betapa seringnya ia memaksakan senyum hanya untuk menghindari pertanyaan orang lain. Ia menangis malam itu, bukan karena lemah, tetapi karena akhirnya berani jujur pada diri sendiri. Ia mulai menerima bahwa kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan adalah bagian dari kemanusiaan. Dan bahwa keberanian sejati adalah ketika seseorang berani merasakan dan menghadapi luka yang ada.
Saat hujan kembali turun di kota tempat Husen tinggal, ia mengirimkan pesan yang membuat Yani merasa dilihat---bukan oleh mata manusia, tapi oleh langit. Ia merenungkan bahwa mungkin Tuhan menurunkan hujan bukan hanya untuk bumi, tetapi juga untuk hati-hati yang penuh luka dan terlalu pandai menyembunyikan rasa sakitnya. Yani memeluk dirinya sendiri malam itu, menyadari bahwa pengertian adalah hal yang ia butuhkan selama ini. Dan Husen memberikannya, meski dari jauh dan hanya melalui kata-kata. Ia merasa bahwa kata-kata Husen adalah pelukan yang tidak kasat mata, namun menguatkan.
Ketika pagi menjelang, Husen mengirim pesan permintaan maaf karena ketiduran semalam. Yani sudah bangun, duduk di tepi ranjang sambil menatap langit subuh. Ia teringat ajakan Husen untuk menjadikan waktu hening itu sebagai kesempatan curhat pada langit melalui sujud. Hari itu, Yani melaksanakan sholat malam. Perlahan dan tulus, ia melepaskan sesuatu yang selama ini membebaninya. Pagi harinya, Husen kembali hadir melalui pesan yang mengingatkan bahwa setiap hari adalah kesempatan baru untuk bersinar. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Yani tersenyum dari hati yang sedikit lebih damai.
Hari-hari setelah itu berjalan biasa. Tidak ada kejutan besar atau pengakuan cinta yang dramatis. Namun, ada perubahan yang perlahan tumbuh dalam diri Yani. Ia mulai tidur lebih nyenyak, bangun tanpa merasa hampa, dan hatinya perlahan tumbuh kembali seperti tanaman yang disiram dengan sabar. Husen tidak selalu hadir setiap hari, namun ketika ia hadir, pesannya lembut dan cukup untuk membuat Yani merasa aman. Kadang ia hanya menanyakan apakah Yani sudah minum air putih, atau menyebutkan bahwa warna langit sore mengingatkannya pada Yani. Yani merasa nyaman tanpa tekanan dan tanpa perlu membuktikan apapun. Ia mulai menulis jurnal untuk dirinya sendiri---tentang hari-hari biasa, rasa syukur, dan ketakutan yang kini ia peluk, bukan tolak.
Suatu malam saat hujan turun, Yani memberanikan diri mengirim pesan lebih dulu. Ia menyadari bahwa cinta bukan soal banyaknya perhatian, tapi tentang seseorang yang tetap tinggal meski kita tak bisa menjelaskan kenapa sedang sedih. Husen membalas dengan lembut, mengingatkan bahwa bahkan bunga yang indah pun pernah layu sebelum akhirnya mekar. Meskipun mereka tidak saling menyatakan cinta secara eksplisit atau memakai label apa pun, mereka tahu ada sesuatu yang nyata di antara mereka---rasa saling membebaskan untuk tumbuh. Husen pernah mengatakan bahwa mereka bukan untuk saling mengisi kekosongan, tapi untuk menemani proses menjadi utuh. Kini Yani memahami sepenuhnya. Ia tidak lagi mencari pelarian atau menunggu diselamatkan. Ia tahu bahwa kebahagiaan sejatinya datang dari dalam dirinya sendiri, dan Husen hanyalah seseorang yang membantunya mengingat bahwa ia pantas dicintai, bahkan saat tidak sempurna.
Di suatu pagi yang cerah setelah hujan, Yani duduk di taman kecil dekat rumah. Ia membuka jurnalnya dan menulis tentang keputusannya untuk hidup dengan tenang, tanpa tergesa. Ia memilih untuk tumbuh perlahan, mencintai bukan karena butuh, tapi karena ingin berbagi kehangatan. Ia berterima kasih pada langit, pada Husen, dan terutama pada dirinya sendiri yang telah bertahan, bahkan ketika pernah ingin menyerah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI