Siapa yang masih ingat, saat kita kecil suka kesal jika orang tua kita membanding-bandingkan kita dengan sepupu, saudara, anaknya ibu itu, anaknya tante itu, dan seterusnya.
Rasanya jengkel tapi ya dipendam saja karena bagaimana pun niat orang tua kita membanding-bandingkan saat itu bermaksud untuk memberikan semangat buat kita.
Namun sadarkah kita bahwa "membanding-bandingkan" ini bisa menjadi ancaman yang mengerikan buat anak-anak kita? Mau tahu? siap-siap jangan kaget ya...
Ketika anak dibanding-bandingkan oleh orang tua atau gurunya, rasa kesal atau marah itu mudah muncul, sebagai bentuk reaksi kepada pihak lain, yaitu orang tua dan guru.
Ketika kekesalannya memuncak si anak bisa langsung mengacuhkannya dan pergi. Tapi bayangkan jika membanding-bandingkannya itu justru muncul dari diri anak itu sendiri?
Misalnya si A membandingkan dirinya yang tidak punya tas bagus dengan si B yang punya tas bagus? Membandingkan pergi naik mobil dengan jalan kaki? Atau masih banyak lagi.
Hal ini tentu tidak diketahui oleh orang tua maupun guru, karena biasanya si anak memendam rasa ini. Tanpa disadari, perasaan membanding-bandingkan ini akan berdampak pada perasaan iri, dengki, memisahkan diri atau membangun kelompok, atau yang paling mengerikan adalah si anak mulai menyalahkan orang tuanya, kondisi rumahnya, atau bahkan dirinya sendiri.
Bayangkan, si anak sedih karena membandingkan kulitnya yang gelap dan kusam dengan teman-temannya yang kulitnya putih dan bersih?
Membandingkan rambutnya yang keriting dengan yang rambutnya lurus? dan masih banyak lagi termasuk membandingkan kekayaan atau pekerjaan orang tuanya.
Nah bayangkan ini terjadi pada anak-anak usia TK sampai SMP. Apalagi kejadian ini terjadi pada anak yang suka menyendiri, tak bergaul dengan teman-teman sebayanya dan berbagi cerita?