Lihat ke Halaman Asli

Moko Kusdiarto

The true writer has nothing to say. What counts is the way he says it

Mata dan Lidah

Diperbarui: 6 Mei 2021   17:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: dreamstime.com

Beberapa tahun belakangan saya amati bulan puasa justru menjadi kesempatan untuk memanjakan lidah. Betapa tidak, menjelang berbuka deretan penjual takjil begitu melimpah. Saya saja yang tidak menjalankan puasa acap tergiur merogoh kocek untuk membeli beberapa jenis kudapan.

Hukum ekonomi mengajarkan soal penawaran dan permintaan. Jadi memang tidak salah jika banyak penjual takjil musiman muncul saat bulan puasa. Kendati sekarang sedang dalam situasi pandemi, masih banyak  penjual takjil yang mengais rejeki berkah bulan Ramadan.

Tubuh memang perlu makanan. Kebutuhan dasar alamiah yang sangat lumrah. Abraham Maslow menempatkan makanan pada tataran paling rendah dalam hierarki kebutuhan manusia. Para filsuf kerap meremehkan kebutuhan fisiologis ini. Manusia yang masih berkutat dengan urusan perut dicap selevel dengan binatang. Terlampau fisikal dan instingtual.

Pandangan ini sekarang tak lagi berlaku. Saat ini manusia  justru memandang makanan sebagai "seni". Makanan bukan lagi urusan remeh temeh tapi soal gaya hidup. Bahkan pada level tertentu makanan menjadi aktualisasi kreativitas manusia, sebagaimana dipertontonkan dalam acara Master Chef, misalnya.

Siapa sih yang tak paham ungkapan "Mak Nyus" dan "Top Markotop" yang dipopulerkan Pak Bondan dalam acara Wisata Kuliner. Sejak acara itu kondang, kata kuliner menjadi mantra penjinak lidah manusia. Amplifikasi kuliner sekarang justru makin populer di kanal Youtube melalui food blogger, yang berlomba-lomba blusukan mencari kuliner enak. Nex Carlos, misalnya, memiliki jutaan mamen yang setia menyimak setiap unggahan di akun Youtubenya.

Melalui kuliner, tubuh manusia lekat dengan simbolisasi makanan. Identitas manusia diciptakan dengan apa yang ia kunyah. Selain swafoto, yang kerap dipajang dalam akun media sosial adalah makanan. Semakin "elit" makanan yang ditampilkan dalam linimasa akun medsos, identitas dirinya terlihat mentereng.

Dengan demikian makanan tidak lagi bersifat rendahan. Ia menjadi identitas kultural yang dikemas menarik, seperti fashion yang melekat di tubuh manusia. 

Berbeda dengan binatang yang menyantap makanan karena dorongan instingnya, manusia mengemas makanan sedemikian rupa sehingga tak hanya enak di lidah tapi juga menarik mata. 

Makanan "ndeso" yang dulu dianggap kampungan sekarang tampil genit dan eksostis. Komodifikasi ini diciptakan untuk memanjakan tubuh, terutama mata dan lidah.  




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline