Mohon tunggu...
Mikael Kanidyanto
Mikael Kanidyanto Mohon Tunggu... Pelajar

AMDG

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Saatnya Kita Lebih Kritis

24 September 2025   07:05 Diperbarui: 24 September 2025   07:04 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Pernahkah kita menyadari betapa sering kita terjebak dalam rasa takut yang tidak beralasan? Fenomena ulat bulu beberapa tahun lalu adalah contohnya. Banyak orang panik hanya karena melihat ribuan ulat menempel di pohon. Padahal, seperti yang ditulis F. Rahardi dalam artikelnya Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu, hewan kecil itu sebenarnya tidak berbahaya. Ulat bulu justru berperan dalam keseimbangan alam, bahkan pernah menjadi sumber protein bagi manusia. Tetapi, masyarakat lebih memilih takut, jijik, dan terbawa arus kepanikan massal. Bukankah ini cermin bahwa kita kadang lebih sibuk takut pada hal kecil, sementara masalah besar di depan mata dibiarkan?

Lihatlah pula bagaimana editorial Tempo menyoroti pagar laut ilegal di Banten. Kasus pagar bambu yang tampak sederhana ternyata membuka tabir besar: ada pengusaha, proyek properti raksasa, bahkan dugaan politik balas budi di baliknya. Editorial itu menyebutnya sebagai sebuah "drama," karena pemerintah seolah tak berdaya menghadapi kepentingan segelintir orang. Lagi-lagi, rakyat kecil dan lingkungan yang harus menanggung akibat. Ironisnya, ketegasan negara malah menghilang justru ketika kepentingan publik seharusnya dibela.

Kritik yang lebih keras datang dari Budiman Tanuredjo dalam kolomnya Ketika Etika dan Sumpah Menjadi Teks Mati. Ia menuliskan dengan gamblang bahwa sumpah para anggota DPR hanya jadi formalitas. Kata-kata janji setia kepada rakyat dan UUD 1945 berubah sekadar teks, tanpa makna. Sejak Reformasi 1998, rakyat berharap perubahan, tetapi kenyataannya politik kita masih dipenuhi kepentingan pribadi dan kelompok. Etika kehidupan berbangsa yang pernah diagungkan MPR kini hanya menjadi pajangan. Bukankah ini sebuah pengkhianatan terhadap harapan rakyat?

Tiga bacaan itu seolah menyatu menjadi sebuah pesan: masalah terbesar bangsa ini bukanlah ulat bulu, bukan pagar bambu, dan bukan teks sumpah di gedung parlemen. Masalah terbesar kita adalah manusia---manusia yang kehilangan akal sehat, nurani, dan integritas. Kita terlalu mudah takut, terlalu gampang tunduk pada kepentingan penguasa, dan terlalu cepat melupakan janji.

Saatnya kita berbenah, kawan. Kita tidak boleh terus menerus terjebak dalam rasa takut yang tak berdasar, dalam kekuasaan yang membungkam, atau dalam sumpah yang hampa. Alam, hukum, dan moral harus kita jaga dengan sikap kritis dan keberanian. Sebab, masa depan negeri ini tidak ditentukan oleh ulat bulu atau pagar laut, melainkan oleh manusia yang mau jujur, berani, dan setia pada kebenaran.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun