Kalau jatuh itu sunyi, maka bangkrut adalah gema yang tak punya dinding.
Di meja tua, angka-angka gugur
seperti daun yang tak sempat pamit pada musim.
Nota, janji, dan kopi dingin
menjadi saksi bisu:
bahwa harapan pun bisa kehabisan saldo.
Celoteh bangau tua, di tepi sawah
Bangkrut! Bangkrut! Bangkrut!
rapalan jadi kenyataan, bila diulang-ulang
Di aminkan dewi Sri, di dengar para Malaikat
Bangkrut bukan cuma soal uang,
kadang ia datang sebagai kehilangan arah,
sebagai toko yang tutup di dalam dada,
sebagai tanya yang tak laku dijawab.
Namun di reruntuhan itu,
ada ruang yang tak pernah dijual:
ruang untuk jujur,
ruang untuk mulai lagi,
ruang untuk tahu bahwa nilai tak selalu terletak pada untung.
Jadi aku duduk,
di antara kuitansi dan kenangan,
menulis ulang neraca hidupku:
dengan cinta sebagai modal,
dan keberanian sebagai laba.
Samarinda, 23 September 2025
Riduannor
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Baca juga: Cerpen: Pabrik Kayu
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!