Masa remaja merupakan periode transisi penting dalam kehidupan yang ditandai dengan percepatan pertumbuhan fisik, perkembangan psikologis, dan perubahan sosial, sehingga membutuhkan zat gizi lebih tinggi. Namun, kebiasaan makan remaja saat ini cenderung mengarah pada pola konsumsi yang tidak sehat. Data Riskesdas (2018) menunjukkan bahwa terdapat 8,7% remaja usia 13-15 tahun dan 8,1% remaja usia 16-18 tahun dengan kondisi kurus dan sangat kurus. Sedangkan prevalensi berat badan lebih dan obesitas sebesar 16 % pada remaja usia 13-15 tahun dan 13,5% pada remaja usia 16-18 tahun.
Kurangnya pengetahuan tentang gizi yang baik menjadi tantangan terbesar dalam memperbaiki kebiasaan makan remaja, karena mereka terbiasa mengonsumsi makanan yang dipilihnya sendiri tanpa mengetahui kandungan dari makanan tersebut. Selain itu, gaya hidup yang kurang sehat, lingkungan pertemanan dan pengaruh konsumsi makanan sesuai tren juga dapat mempengaruhi kebiasaan makan yang akan berdampak pada status gizi remaja.
Tren Kebiasaan Makan Remaja Masa Kini
Perkembangan zaman dan tren yang ada terus memengaruhi pola konsumsi dan kebiasaan makan remaja di Indonesia, Hasil Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa 26,1% anak usia sekolah tidak sarapan. Data Survei Diet Total (SDT) 2020 memperkuat temuan ini, yaitu dari 25.000 anak usia 6–12 tahun di 34 provinsi, sebanyak 47,7% belum memenuhi kebutuhan energi minimal saat sarapan. Bahkan, 66,8% anak sarapan dengan kualitas gizi rendah atau belum terpenuhi kebutuhan gizinya terutama asupan vitamin dan mineral. Kebiasaan melewatkan sarapan ini sering digantikan dengan camilan tinggi gula, garam, dan lemak, seperti jajanan instan dan fast food. Menurut UNICEF (2021), tren peningkatan konsumsi makanan olahan dan minuman manis di kalangan remaja menjadi salah satu faktor utama penyebab munculnya masalah gizi ganda di Indonesia.
Dampak Kebiasaan Makan terhadap Status Gizi
Kebiasaan makan remaja yang tidak memperhatikan aspek gizi dapat berdampak buruk pada status gizinya. Menurut UNICEF (2021) Remaja di Indonesia dihadapkan pada tiga beban gizi, baik kekurangan maupun kelebihan gizi dan kekurangan zat gizi mikro. Data nasional menunjukkan bahwa lebih dari seperempat remaja mengalami stunting. Selain itu, satu dari tujuh remaja mengalami kelebihan berat badan, dan satu dari tiga mengalami anemia. Lebih banyak remaja putra yang pendek dibandingkan remaja putri, sedangkan lebih banyak remaja putri yang menderita anemia. Data SSGI 2021 menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada kelompok umur 15–24 tahun mencapai 15,5% yang sebagian besar terkait dengan rendahnya asupan zat besi dan kebiasaan minum teh/kopi saat makan.
Tantangan dalam Perbaikan Kebiasaan Makan Remaja
Upaya perbaikan pola makan remaja menghadapi sejumlah tantangan. Dari aspek lingkungan, ketersediaan makanan cepat saji dan jajanan instan dengan harga terjangkau membuat remaja lebih mudah mengakses pangan yang tidak sehat dibandingkan makanan bergizi. Faktor sosial dan budaya juga berperan penting. Tren diet populer yang dipengaruhi media sosial seringkali menyesatkan, seperti diet ekstrem rendah kalori yang justru berisiko terhadap kesehatan. Sebuah studi di Makassar menunjukkan pandangan bahwa media sosial berperan besar dalam membentuk pola makan remaja. Media sosial memperkuat kebiasaan makan tidak sehat. Paparan iklan fast food, rekomendasi food vlogger, dan tren kuliner yang viral membuat remaja lebih mudah memilih makanan praktis meski bergizi rendah.
Solusi untuk Meningkatkan Kebiasaan Makan yang Sehat
Menghadapi permasalahan ini, berbagai solusi perlu diterapkan secara kolektif. Pertama, pendidikan gizi sejak dini harus diperkuat baik di sekolah maupun melalui media digital agar remaja mampu memilih makanan sehat secara mandiri. Kedua, intervensi di sekolah melalui program kantin sehat dan kampanye sarapan bergizi terbukti efektif dalam meningkatkan perilaku makan remaja (WHO, 2021). Ketiga, peran keluarga sangat penting dalam menyediakan makanan bergizi seimbang di rumah serta membiasakan pola makan teratur. Selain itu, dukungan kebijakan publik diperlukan, seperti regulasi pembatasan iklan makanan tinggi gula, garam, dan lemak untuk anak dan remaja, serta penguatan program nasional seperti Isi Piringku oleh Kemenkes. Kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, sekolah, keluarga, dan media diharapkan mampu mendorong terbentuknya lingkungan yang mendukung pola makan sehat bagi remaja.
Kebiasaan makan remaja memainkan peran penting dalam menentukan status gizi pada masa transisi menuju dewasa. Data nasional seperti Riskesdas 2018 dan SSGI 2021 menunjukkan bahwa remaja Indonesia masih menghadapi masalah gizi akibat kebiasaan makan yang tidak seimbang, mulai dari gizi kurang, obesitas, hingga anemia. Hasil penelitian terbaru juga menegaskan bahwa media sosial semakin memperkuat tren konsumsi makanan cepat saji melalui paparan iklan dan konten kuliner yang viral.
Diperlukan solusi kolektif melalui edukasi gizi sejak dini, intervensi berbasis sekolah seperti kantin sehat, keterlibatan keluarga dalam membentuk pola makan seimbang, serta regulasi kebijakan publik yang mendukung akses makanan sehat. Dengan adanya upaya yang terintegrasi, diharapkan remaja Indonesia dapat membangun kebiasaan makan yang lebih sehat, sehingga mampu mencapai status gizi optimal yang menunjang kesehatan, prestasi belajar, serta produktivitas di masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI