Pagi baru saja membuka tirai embunnya ketika saya memulai perjalanan di kota budaya yang teduh dan sarat warisan: Batusangkar, berada di pelukan perbukitan Luhak Nan Tuo.
Udara sejuk menusuk namun menyegarkan---seolah memanggil untuk bergegas menuju pusat kota. Bukan untuk mengejar waktu, melainkan untuk mengejar sebuah pasar yang hanya hidup sekali dalam seminggu: Pakan Kamih, setiap hari Kamis di Pasar Batusangkar.
Di sinilah perjalanan saya dimulai. Bukan sekadar perjalanan tubuh, tapi juga perjalanan rasa, tradisi, dan sejarah yang mengalir tenang namun kuat di tanah Minangkabau.
Satu Hari, Sejuta Wajah
Sejak subuh, jalanan mulai dipenuhi langkah kaki dan roda kendaraan yang membawa hasil bumi. Warga dari berbagai nagari sekitar---Tabek, Rao-Rao, Pandai Sikek, Pariangan---bergerak menuju satu titik: pasar yang hanya hadir tiap Kamis pagi.
Pakan Kamih bukan sekadar pasar tradisional. Ia adalah ritual sosial. Di bawah tenda biru, alas terpal, dan meja kayu sederhana, tersembunyi kekayaan budaya yang tak bisa dibeli di supermarket.
Sapaan dalam bahasa Minang, suara tawar-menawar, hingga antrean warga menjadi simfoni yang menghubungkan masa lalu dan kini.
Sarapan Pedas yang Menghangatkan Jiwa
Pojok pasar itu dipenuhi aroma santan, cabai, dan daun pakis. Di sebuah tenda, seorang ibu menyajikan lontong gulai paku yang membangunkan rasa dan ingatan. Kuahnya kental, sambalnya hijau menggoda, dan satu suapan membakar pelipis sekaligus menghangatkan jiwa.
Katupek Pical yang menggoda, Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal
Tak jauh dari sana, tersedia katupek pical, samba kapau, dan ayam ubek---masing-masing mengandung warisan dapur adat.
Katupek gulai yang pedas, Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal
Orang-orang duduk bersila, berbagi meja darurat, saling bercengkerama sambil menyuap lauk. Sarapan di Pakan Kamih bukan sekadar rutinitas pagi, melainkan perayaan kehidupan kolektif.