Renata Salva Fellycia
NIM: B1A124027
Dosen Pengampu: Dr. Ana Ramadhona,S.H., M.H.
 Saat ini Indonesia sedang mengalami pertumbuhan yang signifikan ,pertumbuhan yang khususnya diterutama dalam konteks pembangunan ekonomi .Konteks pembangunan ekonomi . Secara lugas cara yang mudah , bisnisbisnis mengingatkan vendor ketiga mereka tentang aktivitas non - inti sehingga mereka dapat lebih berkonsentrasi pada bisnis inti mereka , yang dianggap dapat meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya mengingatkan vendor ketiga mereka tentang aktivitas non-inti mereka sehingga mereka dapat lebih berkonsentrasi pada bisnis inti mereka , yang dianggap dapat meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya . Namun, seperti yangAnda Anda bisa melihat di atas , terdapat banyak aspek yang relevan dengan aspek hukum dan praktis outsourcing di Indonesia . Dari uraian di atas , terdapat banyak aspek yang relevan dengan aspek hukum dan praktis outsourcing di Indonesia . Menurut Undang-undang, outsourcing diizinkan berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Manajemen Tempat Kerja, khususnya Pasal 64 hingga 66. Namun, aturan ini hanya berlaku untuk kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan, bukan untuk fungsi utama bisnis. Tujuannya adalah untuk memastikan jaminan sosial, keamanan kerja, dan akses terhadap standar keselamatan yang sama seperti karyawan tetap, termasuk uang pesangon. Perlindungan hukum ini juga didukung oleh konvensi internasional seperti Konvensi ILO No. 87 dan 98, serta keputusan Mahkamah Konstitusi yang dengan jelas mendefinisikan kategori yang diperbolehkan untuk outsourcing: layanan spesialis, tugas jangka pendek, dan dukungan operasional.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 11 Tahun 2020 memberikan rincian lebih lanjut tentang kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemberi kerja. Ini termasuk membayar setidaknya upah minimum, mendaftarkan pekerja dalam program jaminan sosial BPJS, dan memastikan semua hak pekerja terpenuhi. Yang perlu dicatat, perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja outsourcing tidak bisa lepas tangan dari tanggung jawab atas pelanggaran; mereka juga harus bertanggung jawab atas hak-hak pekerja, sesuai dengan prinsip keadilan sosial yang diatur dalam Pasal 27 Konstitusi 1945, yang menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
   Meskipun sudah ada kerangka hukum yang ditetapkan, kenyataannya masih ada kesenjangan besar antara peraturan dan praktik yang terjadi di lapangan. Banyak penyedia outsourcing yang kesulitan memenuhi kewajiban ini, sehingga pekerja sering kali tidak mendapatkan perlindungan yang seharusnya mereka terima. Akibatnya, karyawan yang dialihdayakan sering kali menghadapi ketidakpastian dalam pekerjaan, gaji yang tidak memadai, dan akses yang terbatas ke manfaat sosial. Kesenjangan antara norma hukum dan realitas di lapangan ini sangat melemahkan perlindungan bagi pekerja.
   Dari perspektif bisnis, outsourcing memberikan fleksibilitas yang lebih dalam pengelolaan sumber daya manusia, terutama di sektor-sektor yang cepat berubah seperti manufaktur dan layanan. Data dari Kementerian Tenaga Kerja tahun 2022 menunjukkan bahwa sekitar 12 juta pekerja formal---sekitar 20% dari total tenaga kerja Indonesia---bekerja dalam peran yang dialihdayakan, terutama di daerah industri utama seperti Bekasi dan Tangerang.
   Namun, bagi para pekerja itu sendiri, outsourcing sering kali membawa berbagai tantangan: gaji yang lebih rendah dibandingkan dengan karyawan tetap di posisi yang sama, kesempatan promosi atau kemajuan karir yang lebih sedikit, dan partisipasi dalam serikat pekerja yang terbatas, meskipun Undang-Undang No. 21 tahun 2000 menjamin hak untuk berserikat dan bernegosiasi secara kolektif. Dalam situasi ini, bernegosiasi untuk hak-hak dasar menjadi semakin sulit.
   Prosedur pemutusan hubungan kerja bagi pekerja yang dialihdayakan seringkali menyimpang dari ketentuan hukum yang ada. Meskipun undang-undang mengharuskan negosiasi antara dua pihak atau lebih sebelum pemecatan dilakukan, dalam kenyataannya, banyak penghentian yang terjadi secara tiba-tiba dan tanpa prosedur yang tepat, sehingga meningkatkan risiko terjadinya perselisihan industri. Undang-Undang Penciptaan Lapangan Kerja No. 11 tahun 2020, yang bertujuan untuk menyederhanakan peraturan, telah mendapatkan kritik karena dianggap melonggarkan batasan dalam outsourcing dan membuat pekerja lebih rentan.
   Singkatnya, lingkungan outsourcing di Indonesia dipenuhi dengan ketegangan antara efisiensi operasional dan perlindungan hak-hak pekerja. Meskipun outsourcing dapat memberikan fleksibilitas bisnis dan penghematan biaya, tantangan untuk menjaga standar tenaga kerja yang adil dan mematuhi peraturan tetap ada.
Analisis Kasus Pertikaian PT Kertas Leces, Probolinggo (2010-2015)
   Kasus PT Kertas Leces, yang terletak di Probolinggo, memberikan ilustrasi yang jelas mengenai isu praktik outsourcing yang terjadi di Indonesia. Pada tahun 2010, perusahaan ini menghadapi tantangan ekonomi yang disebabkan oleh fluktuasi harga komoditas global, yang mendorong mereka untuk mengalihdayakan sekitar 1.200 pekerja inti dalam proses produksi kepada PT Mitra Kerja Sejahtera melalui kontrak tahunan yang dapat diperpanjang. Namun, tingkat upah yang ditetapkan berada di bawah Upah Minimum Provinsi Jawa Timur pada periode tersebut, yakni sekitar Rp 1,1 juta per bulan, tanpa adanya jaminan mengenai status sebagai karyawan tetap. Ketidakpuasan yang dialami oleh tenaga kerja mencapai puncaknya pada tahun 2011 ketika mereka mengajukan gugatan hukum di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Surabaya, yang merujuk pada Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang melarang praktik outsourcing dalam pekerjaan inti perusahaan. Pada tingkat pengadilan pertama, keputusan diambil yang menetapkan bahwa pelaksanaan outsourcing tersebut adalah tindakan yang ilegal dan memerintahkan pemulihan status pekerja serta pembayaran tunggakan gaji dan pesangon. Meskipun demikian, PT Kertas Leces mengajukan banding, dan pada tingkat Pengadilan Tinggi, keputusan sebelumnya dibatalkan dengan alasan bahwa kontrak kerja disepakati secara sukarela. Kasus ini berlangsung hingga Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan MK Nomor 19/PUU-X/2012 sebagai respons terhadap gugatan yang diajukan oleh KSPI, dengan tujuan untuk memperketat regulasi yang berkaitan dengan praktik outsourcing. Setelah proses mediasi yang melibatkan tiga pihak, termasuk Kementerian Ketenagakerjaan, dilaksanakan pada tahun 2015, PT Kertas Leces diwajibkan untuk membayar kompensasi yang melebihi Rp 50 miliar. Kasus ini juga memicu serangkaian aksi mogok kerja selama 45 hari di tahun 2012, yang berdampak pada gangguan dalam rantai pasok kertas nasional, mengakibatkan kerugian ekonomi, dan menyebabkan sejumlah pekerja kehilangan pekerjaan mereka secara temporer. Oleh karena itu, kasus ini berfungsi sebagai contoh penting yang menekankan perlunya pengawasan pemerintah untuk mencegah penyalahgunaan praktik outsourcing.Â
   Kesimpulan Berdasarkan analisis atas kasus PT Kertas Leces serta regulasi yang terkait, dapat disimpulkan bahwa praktik outsourcing tetap diizinkan dalam konteks hubungan kerja di Indonesia, dengan syarat mematuhi ketentuan hukum yang berlaku. Pelanggaran terhadap regulasi tidak hanya mengakibatkan kerugian finansial bagi perusahaan, tetapi juga dapat merusak tingkat kepercayaan dalam sektor ketenagakerjaan. Dengan demikian, pemerintah perlu memperkuat penegakan Permenaker No. 11 Tahun 2020 melalui inspeksi yang berkelanjutan serta penerapan sanksi yang substantif, bukan sekadar formalitas. Di sisi lain, pengusaha harus mengedepankan prinsip etika yang menghormati hak-hak pekerja, sementara peran serikat buruh tetap esensial sebagai penyeimbang kepentingan pekerja. Hukum ketenagakerjaan seharusnya dipahami sebagai alat untuk mencapai keadilan sosial. Evaluasi yang berkelanjutan terhadap peraturan, terutama setelah implementasi UU Cipta Kerja, sangat krusial agar perlindungan dan keseimbangan hak-hak pekerja serta pengusaha dapat terwujud secara adil.