Lihat ke Halaman Asli

Megawati Sorek

Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Aku Gajah TNTN

Diperbarui: 29 Juni 2025   14:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri : Koleksi Megawati Sorek

Dulu, belantara itu penuh dengan nyanyian burung nan merdu. Hidup kami tenang saling melengkapi dan menyatu dengan alam. Tanah yang membesarkanku dan sekelompok fauna maupun flora. Pepohonan tinggi menjulang, kanopi daun tercipta seiring irama alam  begitu syahdu. Hutan ini rumah kami, setiap suara adalah nyawa. Setiap pohon adalah sejarah.

Suatu hari itu, mengubah segalanya. Dentuman asing menggantikan suara gemerisik dedaunan. Mesin-mesin besar datang membawa bunyi kematian. Pohon-pohon tua maupun yang janin pohon , kalian tak peduli, habis bertumbangan kehilangan makna. Deru alat berat, pembakaran, panas, udara tak lagi membawa aroma tanah yang basah. Kini, lapangan gersang dan suara mesin yang menjauh. Aku hanya mengendus tanah dengan perlahan, seperti mencium jejak kenangan yang telah lenyap.

Aku terduduk di bekas hutan, diantara tunggul pohon. Mataku basah, aku juga bisa menangis. Seandainya aku bisa berbicara ingin sekali aku berkata " Apakah kalian mendengarku? Wahai manusia, makhluk yang dibekali akal, pikiran dan perasaan!" Aku tak mengerti mengapa rumahku direnggut. Kalian rampas paksa tanpa hiraukan nasib kami yang juga makhluk di bumi ini. Aku tak bisa protes apalagi demo. Tahukah kalian, aku merasakan kehilangan yang menyesakkan.  Kami mengingat dan merasakan kelaparan, kehausan. Entah kemana kami akan berkelana lagi?

Aku lunglai, walau badanku besar. Mataku sayu menyimpan danau air mata yang ingin kutumpahkan. Oh, tidak! mataku yang  biasa teduh bukan hanya sayu, lebih dari pada itu, suram oleh debu yang menempelinya bahkan sampai ke sekujur kulitku. Kelabu dan kusam.

Belalaiku lemas, tak bergerak. Bahkan mengibaskan telinga kubutuh tenaga lebih. Apalagi ekorku, dia seakan mati suri, kaku! Jiwaku tertinggal di hutan yang telah musnah. Setiap mataku mengitari sekeliling kini hamparan barisan pohon sawit adanya.

Aku hanya  ingin pulang itulah tangisan jiwaku yang tercabik oleh kehancuran rumah yang tak bisa kami lindungi. Kami tak bisa melawan, kami hanya ingin pulang. Terusir dan berkelana, salahkah kami masuk lahan pertanian atau permukimanmu wahai manusia? Atau hanya bertahan di pinggiran hutan. Kami kehilangan arah dan terpisah, bahkan kami depresi. Ya, kami bisa mengalami itu dengan tekanan berat yang kami alami. Kami akan menjadi pasif, diam dan menyendiri. Ataukah nasib kami musnah berlahan,. Besok atau nanti, anak cucu kalian mengenal gajah hanya dari gambar, tanpa pernah bertemu kami yang aslinya. Hanya mendengar cerita tentang hutan yang pernah ada  lalu berganti dengan keserakahan. Bumi tak lagi bernapas. Itulah oksigen yang juga akan semakin kehilangan sumber penghasilnya.

Keserakahan dengarlah! Ini bukan hanya tentangku, Si Gajah. Lebih dari itu. Kalian tahu sebenarnya, cuma berpura-pura buta mata dan hati. Fokusnya hanya pada angka-angka laporan, pundi-pundi keuangan dalam laporan keuntungan. Kong kolingkong cukong entalah apa yang kalian manusia lakukan demi ... demi kaya.

Manusia lupa, bahwa tanpa alam kita hanyalah debu menunggu bencana. Sejatinya kita tak bisa hidup tanpa alam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline