Tiga perkara pengujian keaslian ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini sedang berjalan di pengadilan. Banyak pihak, bahkan sebagian pendukung pemerintah, menaruh harapan besar bahwa putusan pengadilan akan menjadi palu akhir bagi isu ijazah palsu yang selama ini menjadi komoditas politik yang laris di media sosial dan kanal-kanal "peneliti independen". Namun, benarkah ketika terbukti asli, fitnah akan berhenti?
Ijazah Jokowi dan Jalur Hukum yang Ditempuh
Perlu dicatat, tuduhan bahwa Jokowi menggunakan ijazah palsu sudah muncul sejak ia pertama kali mencalonkan diri sebagai presiden pada 2014. Namun baru belakangan ini, isu tersebut kembali menggeliat dan mencapai tahap gugatan resmi di pengadilan. Tercatat ada tiga gugatan yang diajukan.
Pihak Universitas Gadjah Mada (UGM), tempat Jokowi mengenyam pendidikan tinggi, secara konsisten menyatakan bahwa Jokowi adalah alumni resmi jurusan Kehutanan, Fakultas Kehutanan, angkatan 1980 dan lulus tahun 1985. Pernyataan ini bahkan diperkuat dengan dokumen akademik, foto-foto lama, dan testimoni para dosen serta rekan kuliahnya.
Pihak Kepolisian bahkan sudah pernah mengungkapkan bahwa penyelidikan forensik terhadap dokumen Jokowi telah dilakukan secara profesional dan menyimpulkan bahwa dokumen tersebut autentik. Namun, fakta-fakta ini tetap ditolak oleh sebagian pihak.
Yang menarik, sebelum perkara terbaru ini mencuat, Mahkamah Konstitusi (MK) sebenarnya sudah pernah memutus perkara serupa pada 2019, menyatakan bahwa ijazah Jokowi adalah sah dan tidak terbukti palsu. Dalam putusan sengketa hasil Pilpres waktu itu, MK menyebut tidak ada bukti kuat yang menunjukkan adanya manipulasi dokumen pendidikan yang diajukan oleh Jokowi saat mendaftar sebagai calon presiden.
Bahkan dalam perkara terpisah, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) juga pernah menolak gugatan yang menyerang keabsahan ijazah Jokowi, menyimpulkan bahwa tidak ditemukan unsur pelanggaran administratif maupun indikasi pemalsuan.
Ketika Fakta Tidak Lagi Cukup
Mengapa demikian? Karena bagi sebagian orang, ini bukan soal kebenaran ijazah---ini tentang membangun narasi kebencian.
Filsuf Prancis, Jacques Ellul, pernah mengatakan bahwa propaganda tidak perlu sepenuhnya bohong; ia hanya perlu menyasar emosi dan mengulang terus-menerus. Di sinilah posisi para penuduh Jokowi berada. Mereka tidak akan berhenti meskipun fakta-fakta hukum berpihak pada Jokowi.
Sebaliknya, sebelum sidang dimulai pun, mereka telah mengklaim bahwa pengadilan tidak netral. Mereka menolak hasil uji forensik polisi dengan argumen konspiratif: "pasti sudah dibeli", "jaksa sudah tidak bisa dipercaya", dan "ada Partai Coklat di balik semuanya".
Di media sosial, mereka menyebut diri sebagai "peneliti independen" untuk menutupi motif politik. Namun, tak satu pun dari mereka menunjukkan metodologi ilmiah yang transparan. Narasi mereka nyaris identik: Jokowi tidak mungkin jadi presiden tanpa rekayasa. Sebuah tuduhan yang tidak hanya menghina institusi pendidikan tinggi, tetapi juga menghina akal sehat publik.