Di kampung saya, di kaki perbukitan Subang selatan yang hijau, ada seorang tetangga yang punya cara unik menikmati hidup. Usianya sudah lanjut, langkahnya pelan, tapi semangatnya tak pernah surut.Â
Ia bukan petani besar, bukan pula pedagang kopi. Namun setiap kali musim panen tiba, dengan seizin yang punya kebun ia terlihat berjalan di antara pohon kopi, membawa kantong kecil, matanya awas menatap tanah.
Yang ia kumpulkan bukan biji kopi biasa, melainkan biji kopi yang jatuh dari pohon: sisa santapan tupai dan musang. Orang lain mungkin menganggapnya kotor atau tak berguna, tapi baginya, biji-biji itu adalah rezeki yang masih bisa disyukuri.
Dari Alam, Untuk Diri Sendiri
Biji kopi itu ia bawa pulang, dengan hati-hati ia memilih yang masih utuh. Mencucinya dengan air bersih, menjemurnya berhari-hari di bawah matahari, lalu menyangrainya sampai harum semerbak memenuhi dapur.Â
Tidak ada mesin modern, hanya wajan besi tua dan tungku kayu. Dari situ keluarlah bubuk kopi buatannya sendiri: pekat, hitam, dan wangi alami.
Ia tidak menjualnya, kopi itu hanya ia nikmati sendiri. Biasanya sambil duduk di beranda rumah bambunya setiap pagi, sambil menghadap kabut tipis lereng pegunungan.Â
Saya sering memperhatikannya bahkan menemaninya mengobrol. Ada ketenangan yang terpancar dari wajahnya, tenang seperti kabut pagi yang menggantung di lereng gunung.
Kopi Luwak Versi Rakyat
Apa yang ia buat, sesungguhnya adalah kopi luwak dalam versi paling sederhana: versi rakyat. Tidak ada label mahal, tidak ada sertifikat keaslian, tidak pula alat penyeduh canggih. Hanya ada tangan yang sabar dan keyakinan bahwa alam sudah memberi cukup untuk hidup.