Perkembangan kecerdasan buatan (AI) semakin pesat dan kini banyak dimanfaatkan dalam dunia pendidikan. Saat ini, guru maupun siswa sudah terbiasa menggunakan aplikasi AI, seperti chatbot atau penulis otomatis yang termasuk dalam kategori generatif. Kehadiran teknologi ini tentu membawa sejumlah manfaat; namun, di saat yang sama juga memunculkan pertanyaan penting: apakah sebaiknya penggunaan AI diberi batasan?
Tiongkok sudah menetapkan aturan yang cukup ketat terkait hal ini. Di sekolah dasar hingga menengah, penggunaan AI generatif dalam proses pendidikan dilarang. Sebagai contoh, guru tidak diperbolehkan menilai pekerjaan yang dibuat dengan bantuan AI; siswa pun dilarang menggunakan chatbot untuk mengerjakan tugas atau menulis esai. Di sisi lain, pemerintah Tiongkok tetap memasukkan pelajaran AI ke dalam kurikulum, tetapi pendekatannya lebih menekankan pada konsep dan pemahaman dasar yang diajarkan sejak dini.
Jika kebijakan tersebut diterapkan di Indonesia, dampaknya bisa dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, larangan akan mencegah guru maupun siswa terlalu bergantung pada mesin. Dengan begitu, kemampuan berpikir kritis tetap terjaga. Selain itu, kebijakan ini juga bisa membantu mengurangi risiko plagiarisme dan mendorong siswa untuk berusaha lebih baik dalam mengerjakan tugas.
Namun, di sisi lain, kondisi Indonesia berbeda dengan Tiongkok. Tantangan utama kita ada pada kesenjangan akses dan ketersediaan sumber belajar. Dalam hal ini, AI sebenarnya bisa menjadi alat bantu yang berharga; guru dapat menggunakan teknologi ini untuk memperkaya materi atau mencari referensi baru. Jika penggunaannya langsung dilarang total, justru bisa menyulitkan guru dalam memaksimalkan proses pembelajaran.
Oleh karena itu, menurut saya, Indonesia tidak perlu menyalin kebijakan Tiongkok secara mentah-mentah. Langkah yang lebih tepat adalah membuat aturan yang jelas dan seimbang: AI boleh dipakai, tetapi hanya sebagai pendukung. Guru tetap menjadi pusat pembelajaran; sedangkan AI berfungsi melengkapi, bukan menggantikan peran guru dalam mendidik.
Pada akhirnya, AI hanyalah teknologi; keberhasilan pendidikan tetap ditentukan oleh manusia, khususnya guru. Pertanyaan yang sebaiknya kita ajukan bukanlah “apakah AI harus dilarang?”, melainkan “bagaimana AI bisa dimanfaatkan tanpa menghilangkan nilai belajar yang sesungguhnya?”.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI