Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Arif Mauludi

Universitas Mercu Buana

Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey

Diperbarui: 13 Oktober 2025   13:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Modul yang dibuat oleh Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Pendahuluan

Kalau kita bicara tentang ilmu, banyak orang berpikir bahwa semua ilmu itu sama saja. Tujuannya dianggap satu: mencari kebenaran dan menjelaskan dunia. Namun, pandangan seperti ini sebenarnya terlalu sederhana. Menurut Wilhelm Dilthey, seorang filsuf asal Jerman yang hidup pada abad ke-19, ilmu pengetahuan tidaklah tunggal. Manusia memiliki dua cara berbeda dalam mengenal dunia: dari luar dan dari dalam. Dilthey menyebut keduanya sebagai ilmu alam (Naturwissenschaften) dan ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften).

Ilmu alam berfokus pada hal-hal yang dapat diamati dan diukur. Ia berusaha menjelaskan dunia lewat sebab dan akibat yang pasti. Contohnya bisa kita lihat dalam bidang fisika, kimia, dan biologi. Dalam ilmu ini, peneliti mencari hukum-hukum universal yang berlaku untuk semua situasi. Misalnya, air selalu mendidih di suhu 100 derajat atau gravitasi selalu menarik benda jatuh ke bawah. Dunia dilihat sebagai sesuatu yang bisa diprediksi dan dikendalikan lewat rumus dan logika yang pasti.

Sebaliknya, ilmu kemanusiaan justru melihat manusia dari sisi dalam. Ilmu ini berusaha memahami makna hidup, nilai, pengalaman, dan perasaan manusia karena hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan angka atau eksperimen laboratorium. Contohnya bisa kita lihat dalam bidang sejarah, sastra, filsafat, dan juga ilmu sosial. Ilmu kemanusiaan tidak hanya mencari penjelasan tentang apa yang terjadi, tetapi juga berusaha memahami mengapa hal itu berarti bagi manusia. Karena itu, bagi Dilthey, ilmu kemanusiaan tidak bisa disamakan dengan ilmu alam. Ia membutuhkan empati, tafsir, dan pemahaman yang lahir dari pengalaman hidup.

Dilthey berpendapat bahwa kedua jenis ilmu ini sama-sama penting, hanya saja cara kerjanya berbeda. Ilmu alam menjawab pertanyaan “bagaimana sesuatu terjadi,” sementara ilmu kemanusiaan menjawab pertanyaan “apa arti dari hal itu bagi manusia.” Manusia sebagai makhluk hidup yang berpikir, merasa, dan berinteraksi tidak bisa dipahami hanya lewat hukum-hukum objektif seperti benda mati. Manusia harus dimengerti lewat makna dan nilai yang ia ciptakan dalam kehidupan sehari-harinya. Pandangan ini ternyata sangat relevan jika kita melihat dunia akuntansi. Selama ini, akuntansi sering dianggap sebagai ilmu yang kaku, penuh dengan angka, tabel, dan perhitungan matematis. Semua hal dihitung dan diukur secara objektif laba, rugi, aset, modal, maupun utang. Akuntansi terlihat seperti mesin hitung yang bekerja tanpa perasaan, seolah-olah angka-angka yang muncul di laporan keuangan adalah fakta yang netral dan mutlak.

Padahal, kalau kita melihat lebih dalam, angka-angka dalam akuntansi sebenarnya menyimpan kisah manusia. Di balik setiap laporan keuangan ada keputusan, ada tanggung jawab, ada niat, dan ada nilai moral yang melatarinya. Laporan keuangan bukan sekadar tumpukan angka atau dokumen administratif, melainkan hasil dari proses berpikir, bekerja, dan bertanggung jawab manusia. Di sana ada cerita tentang usaha, kerja keras, kejujuran, tekanan, bahkan keraguan. Dengan kata lain, angka-angka dalam akuntansi tidak pernah benar-benar netral; mereka selalu membawa makna yang lahir dari pengalaman manusia yang membuatnya.

What: Hakikat Hermeneutika Wilhelm Dilthey

Hermeneutika, dalam pandangan Wilhelm Dilthey, bukan sekadar metode untuk menafsir teks atau dokumen tertulis, tetapi merupakan seni dan ilmu memahami kehidupan manusia secara mendalam. Dilthey lahir pada tahun 1833 di Jerman, pada masa ketika positivisme, pandangan bahwa satu-satunya pengetahuan yang sah adalah pengetahuan empiris yang dapat dibuktikan secara ilmiah yaitu sedang dominan. Para positivis, seperti Auguste Comte, menekankan bahwa fenomena alam dapat dijelaskan dengan hukum sebab-akibat, yang dapat diuji dan diukur secara objektif. Namun, Dilthey menyadari bahwa manusia berbeda dari benda-benda alam. Kehidupan manusia tidak bisa direduksi menjadi data atau angka semata karena manusia memiliki kesadaran, kehendak, nilai, emosi, dan pengalaman batin yang unik.

Oleh karena itu, Dilthey membedakan ilmu pengetahuan menjadi dua ranah besar: Naturwissenschaften (ilmu alam) yang menekankan penjelasan (erklären), dan Geisteswissenschaften (ilmu kemanusiaan) yang menekankan pemahaman (verstehen). Ilmu alam berusaha memahami fenomena yang bersifat universal, tetap, dan dapat diukur, sementara ilmu kemanusiaan berusaha memahami makna, pengalaman, dan ekspresi kehidupan manusia yang selalu berubah. Dilthey menekankan bahwa tugas utama ilmu kemanusiaan adalah memahami das Leben yang berarti kehidupan itu sendiri. Kehidupan manusia tidak statis; ia bergerak, berkembang, dan dipengaruhi oleh konteks sejarah, sosial, dan budaya. Setiap tindakan manusia, setiap kata yang diucapkan, bahkan setiap simbol yang digunakan, adalah cerminan pengalaman batin dan makna eksistensial yang mendalam.

Hermeneutika bagi Dilthey menjadi jembatan untuk menembus pengalaman manusia. Ia bukan hanya tentang membaca teks tertulis, tetapi juga menafsirkan ekspresi kehidupan manusia, mulai dari bahasa, seni, tindakan, hingga simbol sosial. Misalnya, ketika seorang penyair menulis puisinya, tidak cukup hanya menghitung jumlah kata atau menganalisis struktur bahasa. Kita harus memahami emosi, pengalaman, dan konteks budaya yang membentuk puisi itu. Begitu pula dalam musik, seni rupa, atau ritual sosial: makna yang terkandung di dalamnya hanya bisa dipahami melalui pendekatan hermeneutik yang menempatkan manusia sebagai subjek yang hidup, bukan sekadar objek yang bisa diukur.

Ketika pandangan ini diterapkan dalam bidang akuntansi, muncul perspektif yang lebih mendalam dan humanis. Akuntansi tidak lagi sekadar dianggap sebagai aktivitas teknis yang menghitung angka-angka ekonomi, tetapi sebagai ekspresi kehidupan sosial manusia. Laporan keuangan, neraca, jurnal transaksi, dan dokumen akuntansi lainnya bukan sekadar catatan formal, tetapi juga merekam kisah hidup manusia di balik angka-angka itu. Misalnya, seorang pengusaha kecil yang menulis pendapatan dan pengeluaran di buku catatan sederhana tidak hanya mencatat transaksi finansial. Ia mencatat perjuangan hidupnya, tanggung jawab terhadap keluarganya, dan nilai-nilai moral yang ia pegang. Begitu pula, ketika seorang akuntan menandatangani laporan audit, tindakan itu bukan sekadar formalitas administratif, tetapi juga refleksi integritas, etika profesional, dan tanggung jawab moral.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline