Beberapa hari ini, sosok “Mukidi” menjadi viral di berbagai media sosial dan jenis aplikasi pesan instan. Fenomena Mukidi bukan hanya sekedar guyonan, dalam beberapa kisahnya Mukidi juga digunakan sebagai personifikasi atau pengumpamaan untuk mengkritisi hal-hal yang sedang terjadi di masyarakat.
Meski tak ada yang tahu siapa kreator di balik trending topic ini, Mukidi banyak digunakan untuk mewakili sosok yang ingin dibicarakan tanpa harus menyinggung langsung orang yang bersangkutan. Misalnya:
www.disiniajatempatnya.com
twitter.com/AhmadYusdi28
Tak kurang mantan panglima TNI Moeldoko, Menseskab Pramono Anung, dan Menteri Agama Lukman H Safiudin (yang sedang sibuk ngurusin jamaah haji pun) ngetwit tentang Mukidi:twitter.com/GeneralMoeldoko
twitter.com/pramonoanung
twitter.com/lukmansaifuddin
Baca deh twit-twit netizen lainnya tentang Mukidi yang cukup menggelitik:twitter.com/rockygerung
twitter.com/GunRomli
Atau, twit dari politisi PDIP, Budiman Sudjatmiko yang berani memplesetkan kalimat sakral partainya (Semoga saja Ibu Megawati bijak membacanya):twitter.com/budimandjatmiko
Bahkan, cyber armyPKS yang twit-nya biasa garang menyerang siapapun yang tidak sepaham dengannya, juga ngebanyoltentang Mukidi. Meskipun garing.twitter.com/maspiyungan
Alasan yang membuat orang menyebarkan humor Mukidi ini di dunia maya, adalah: Pertama, humor Mukidi tidak mengandung unsur komersil sehingga setiap orang tak terbebani saat membaca dan menyebarkannya. Kedua, orang yang ikut menyebarkankannya biasanya hanya ingin dianggap lucu saja. Ini merupakan reward atau insentif tersendiri bagi orang yang menyebarkan. Yah, hitung-hitung menghibur hati di tengah kepenatan hidup ini.Tapi, kalau elite atau pejabat negara ikut-ikutan latah menyebarkan humor Mukidi baik untuk sekedar lucu-lucuan atau numpang tren semata, apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada bangsa ini? Dan segimana lucunya sih humor Mukidi itu?
Nah, ini salah satu cuplikan humor Mukidi yang menjadi viral itu:
Jaya adalah tetangga Mukidi, tapi mereka tak pernah rukun.
Mukidi merasa Jaya adalah saingannya. Jika Jaya beli sepeda baru, Mukidi pun tidak mau kalah. Mukidi membeli sepeda baru juga. Ketika menjelang Lebaran, rumah Jaya dicat merah. Besoknya, Mukidi pun mengecat rumahnya dengan warna merah juga.