Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Bursa Jodoh Tradisional Versi Minang

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Urusan jodoh bagi masyarakat Minang tidak bisa disebutkan sebagai urusan individu sepasang anak manusia yang mau menikah. Jodoh terkait dengan martabat kaum atau suku, sehingga tidak saja menjadi urusan anak gadis atau anak bujang bersama orang tuanya, tapi juga ninik mamak sebagai representasi kaum.

Anak dipangku keponakan dibimbing, masih dipakai sampai saat ini. Artinya, seorang mamak (paman) harus bertanggungjawab mencarikan jodoh untuk keponakannya, khususnya anak dari saudara perempuannya. Kalau anak dari saudara laki-lakinya, itu menjadi tanggung jawab pihak istri dari saudara laki-lakinya itu. Kalau si ponakan sudah punya pacar yang memenuhi kriteria, ya tinggal dinikahkan saja. Persoalannya menjadi gawat kalau ada "anak gadih alun balaki" alias perawan yang sudah berumur. Ini salah satu aib bagi masyarakat Minang.

Agar aib tersebut tidak muncul, maka orang Minang terkenal cukup gigih dalam mencarikan jodoh buat anak dan keponakannya. Barangkali saat ini dengan semakin mudahnya komunikasi, baik melalui dunia nyata maupun dunia maya, urusan jodoh semakin gampang. Tapi tidak begitu di era sebelum tahun 2000-an. Saat itu, "maresek" atau melobi pihak keluarga yang anak/keponakannya diincar untuk diambil jadi menantu, adalah hal yang biasa. Maresek bisa saja dilakukan secara tidak sengaja saat ketemu teman lama, dan saling bercerita bahwa mereka punya anak yang masih belum berkeluarga. Tapi ada beberapa event, yang bisa dimanfaatkan untuk ajang maresek secara intens, sehingga bisa juga disebut sebagai "bursa" jodoh. Pertama, saat hari raya idul fitri, dimana para perantau Minang yang berhasil biasanya akan pulang kampung (kalau yang tidak berhasil biasanya malu pulang kampung, agak berbeda dengan filosofi Jawa "makan tidak makan yang penting kumpul"). Saat itu, yang punya anak gadis segera maresek ke orangtua atau mamak dari si pemuda yang diincar. Momennya bisa sehabis shalat ied, saat halal bi halal, atau datang langsung karena saat lebaran memang lazim saling berkunjung.Kedua, saat wisuda, dimana keluarga dari wisudawan/wisudawati merayakan keberhasilan anak/keponakannya. Saat itu para orang tua dari wisudawati akan berusaha mencari orang sekampungnya atau sekabupatennya yang juga hadir. Oh ya, dalam maresek, inisiatif biasanya dari pihak keluarga perempuan, dan keluarga laki-laki yang diincar biasanya akan "tahan harga" dengan memberikan jawaban "mengambang", karena biasanya yang datang maresek cukup banyak, apalagi kalau lelaki yang diincar adalah sarjana kedokteran, farmasi, teknik atau akuntansi yang dinilai bermasa depan cerah. Ketiga, saat kenduri, pengajian, arisan ( di Padang disebut julo-julo), dan forum kumpul-kumpul lainnya, selalu saja ada yang menafaatkan kesempatan untuk maresek.

Sekarang memang bukan zaman Siti Nurbaya lagi. Seperti masyarakat lain pada umumnya, banyak orang Minang menemukan jodohnya melalui tahap pacaran, dan bahkan tidak sedikit yang berjodoh dengan orang bukan Minang. Tapi, rasa-rasanya, meski makin berkurang, tradisi maresek masih ada. Apa karena itu, jumlah wanita yang memilih hidup melajang, relatif sedikit di Sumatera Barat? Bisa jadi iya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline