Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Beauty Pilihan

Bulu Tubuh dan Mitos Seksual, Melawan Standar Kecantikan Semu

4 Oktober 2025   14:29 Diperbarui: 4 Oktober 2025   16:34 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | Shutterstock


Bulu pada tubuh manusia, mungkin menjadi topik yang tak terlalu banyak dibahas, padahal dalam keseharian treatment terhadap "perbuluan" ini rutin dilakukan terutama oleh perempuan.

Mengapa concern bulu tubuh lebih banyak menunjuk ke arah perempuan, lantaran adanya keyakinan di tengah publik bahwa ketiadaan bulu tubuh adalah standar keperempuanan (feminitas) dan menjadi semacam barometer kecantikan seorang perempuan, mulus tanpa bulu, bulu tubuh dianggap sebagai simbol maskulinitas.

Mengutip "Encyclopedia of hair: A Cultural History" oleh Victoria Sharrow, yang dimaksud bulu tubuh pada manusia adalah rambut yang tumbuh di luar rambut di kepala, alis, dan bulu mata.

Komodifikasi Standar Kecantikan Seorang Perempuan

Menjadi cantik bagi seorang perempuan itu penuh perjuangan, terkadang sangat menyakitkan. Standarnya diukur dengan ketepatan mikroskopis, garis rahang yang tajam, pori-pori yang tak terlihat, dan kulit putih mulus tanpa bulu.

Menurut Jurnal bertajuk "Gender and body hair: constructing the feminine woman" yang di tulis Merran Toerien dan Sue Wilkinson, di banyak budaya modern, terutama di Barat dan budaya yang sangat dipengaruhi olehnya (termasuk Indonesia), kulit wanita yang ideal dikonstruksikan sebagai kulit yang putih, halus, mulus, dan bebas dari rambut terminal (bulu) di area tertentu seperti kaki, ketiak, dan terkadang lengan atau wajah (kumis tipis). 

Bulu tubuh yang tebal secara historis dan sosial sering dikaitkan dengan maskulinitas karena perannya yang lebih jelas pada pria (dipicu oleh hormon androgen). Akibatnya, kehadiran bulu yang mencolok pada wanita dianggap "tidak feminin" atau bahkan "jorok."

Perempuan yang memiliki bulu tubuh sering kali menghadapi penilaian sosial yang kurang fair. Mereka dicap tidak menarik, kurang cerdas, atau antisosial dibandingkan mereka yang tampil mulus.

Ironisnya, perempuan berbulu juga dilekatkan dengan sifat-sifat yang pada dasarnya positif, seperti agresif, kuat, dan aktif. Namun, karena sifat-sifat ini secara budaya dikaitkan dengan maskulinitas, konteksnya pada perempuan menjadi negatif. 

Hal ini mencerminkan keyakinan yang mengakar di banyak masyarakat (termasuk Indonesia) bahwa perempuan ideal seharusnya hanya bersikap feminin, yaitu, lemah, pasif, dan tidak agresif, sehingga keberadaan bulu tubuh dianggap sebagai pelanggaran terhadap peran gender yang sempit tersebut.

Bulu Tubuh, Kenyataan Biologis dan Indikator Kematangan

Padahal, secara biologis, bulu tubuh adalah hal yang normal dan natural. Kemunculannya yang menebal saat pubertas adalah salah satu tanda kematangan seksual pada perempuan. 

Menurut tulisan di situs Healtdirect.gov.au, berjudul "Puberty for girls,"proses ini dimulai saat perempuan memasuki masa pubertas (sekitar usia 8 hingga 13 tahun), di mana bulu tubuh akan mulai tumbuh dan menebal di berbagai area. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun