Kuantitas bulu ini akan terus bertambah dan mencapai puncaknya hingga perempuan mencapai tahap menopause (usia 45 hingga 55 tahun), sebelum akhirnya menurun setelah periode tersebut.Â
Dengan demikian, pertumbuhan bulu tubuh bukan hanya natural, tetapi juga merupakan indikator jelas dari kedewasaan dan kematangan seksual perempuan.
Lantas sejak kapan stigma buruk terhadap bulu tubuh pada perempuan ini bermula?
Sejarah Komodifikasi dan Pembentukan Norma
Keyakinan bahwa bulu pada tubuh perempuan harus dihilangkan telah berakar sejak praktik hair removal di peradaban kuno.Â
Namun, intensitasnya di budaya Barat modern dimulai ketika industri kecantikan secara eksplisit menargetkan perempuan.
Pada tahun 1915, perusahaan Gillette merilis alat cukur khusus perempuan (Milady Dcollet), secara eksplisit menyatakan bahwa perempuan harus bercukur demi kecantikan dan daya tarik.Â
Langkah ini mengubah bulu tubuh dari masalah pribadi menjadi objek ekonomi. Sejak saat itu, industri (dari alat cukur, waxing, hingga laser) terus mengalirkan narasi yang memandang perempuan sebagai "objek ekonomi" yang harus berdandan dan membersihkan bulu agar "nampak cantik."
Kontrasnya terlihat jelas pada laki-laki, yang diekspektasikan memiliki bulu (jenggot, dada, dll.) karena bulu tubuh mereka dikaitkan dengan maskulinitas, dominasi, dan kematangan seksual, semuanya konotasi positif.
Menurut "The Last Taboo: Women and Body Hair," karya Lesnik-Oberstein, double standard ini menunjukkan betapa bulu tubuh perempuan telah menjadi tabu yang dikontrol oleh aturan-aturan sosial.
Mitos Seksual Berkaitan Dengan Bulu Tubuh
Selain itu, ada satu mitos lain yang menarik dan menuai begitu banyak misinterpretasi, yakni narasi yang menghubungkan bulu tubuh dengan hasrat seksual seorang perempuan.
Mitos yang beredar luas menyebutkan bahwa "perempuan berbulu libidonya tinggi" adalah penyederhanaan yang keliru.Â