Di berbagai penjuru Indonesia, musim kemarau membawa serta tradisi yang tak lekang oleh waktu---bermain layang-layang. Langit yang cerah dan bebas dari awan menjadi panggung luas bagi layangan-layangan yang menari di udara, berwarna-warni dan beraneka bentuk. Permainan ini bukan sekadar hiburan anak-anak; ia merangkul remaja hingga orang dewasa, menciptakan ruang bersama di mana keterampilan dan strategi berpadu dalam kompetisi yang seru.
Salah satu momen paling dinanti sekaligus paling mengundang keramaian adalah saat layang-layang putus. Ketika dua atau lebih layangan saling beradu di udara, gesekan benang yang tajam bisa membuat salah satunya terlepas dari kendali. Layangan yang putus itu kemudian melayang bebas mengikuti arah angin, menukik perlahan, dan menjadi incaran banyak mata. Suasana pun berubah riuh. Anak-anak dan remaja berhamburan, berusaha menebak di mana layangan akan jatuh. Ada yang membawa bambu panjang untuk menggapai, ada pula yang mengamati pohon-pohon tempat layangan mungkin tersangkut.
Namun, permainan ini menyimpan lebih dari sekadar kesenangan. Permainan ini menuntut kepekaan tinggi. Ada ketepatan membaca arah dan kekuatan angin. Ada kecermatan mengatur tarikan benang saat menghadapi tekanan udara atau serangan lawan. Pemain yang berpengalaman tahu persis kapan harus mengulur atau menarik, bagaimana memilih benang yang tepat, bahkan bagaimana posisi tubuh mempengaruhi kendali. Semua itu terjadi di ruang terbuka, tanpa panduan tertulis, namun diwariskan melalui pengalaman dan pengamatan yang terus diasah.
Tanah Merah di Cipayung menjadi salah satu titik yang ramai oleh anak-anak yang bermain layangan. Saya terkesima melihat bagaimana mereka berkumpul, menanti momen layangan putus, lalu berlari bersama mengejarnya dengan semangat yang tak pernah padam.
Menariknya, kawasan Tanah Merah ini juga menjadi sorotan dalam rencana pembangunan besar. Pemerintah Kota Depok mengusulkan pembangunan stadion bertaraf internasional di wilayah tersebut. Usulan ini disampaikan langsung oleh Wali Kota Depok, Supian Suri, usai bertemu dengan Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggodo dan Menteri BUMN Erick Thohir, dalam rangka membahas sejumlah proyek strategis infrastruktur. Sebuah ironi yang indah---di tanah tempat anak-anak mengejar layangan, kelak mungkin berdiri megah sebuah stadion yang menjadi simbol kemajuan kota.
Di tengah riuh rendah permainan layang-layang dan rencana pembangunan stadion megah, Tanah Merah menyimpan cerita tentang masa kecil, tentang kebersamaan, dan tentang ruang publik yang hidup. Layangan yang terbang tinggi di langit bukan hanya simbol kebebasan, tetapi juga pengingat bahwa tradisi dan kemajuan bisa berjalan beriringan. Bahwa di antara benang-benang yang saling bersilang dan anak-anak yang berlari mengejar mimpi di udara, ada harapan agar ruang-ruang seperti ini tetap ada---tempat di mana generasi tumbuh, belajar, dan bermain.
Karena sejatinya, kota bukan hanya tentang bangunan dan proyek besar, tetapi juga tentang manusia dan kenangan yang mereka ciptakan di dalamnya. Dan di Tanah Merah, di antara debu dan impian, keduanya sedang menanti untuk saling berangkulan. (hes50)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI