Kalau bukan generasi muda yang bikin Pacu Jalur trending, siapa lagi? Jangan tunggu punah baru peduli.
Budaya itu harus naik FYP, bukan cuma naik panggung.
Setiap bulan Agustus, air Sungai Batang Kuantan di Riau bergemuruh. Ratusan pendayung dari berbagai kampung bertarung di atas perahu panjang yang indah dan sarat makna.
Itulah Pacu Jalur, tradisi yang telah hidup ratusan tahun, bahkan sejak masa Kerajaan Kuantan dulu.
Sayangnya, di tengah euforia pacuan, saya bertanya-tanya: mengapa tradisi sebesar ini belum juga viral seperti Citayam Fashion Week, Mie Gacoan, atau tari-tarian Korea di TikTok?
Padahal, Pacu Jalur bukan sekadar lomba mendayung.
Ia adalah peristiwa budaya, spiritualitas, kekompakan sosial, dan warisan sejarah yang tak ternilai.
Budaya dan Algoritma
Di era digital, kita tak bisa berharap budaya dilestarikan hanya lewat baliho, panggung desa, atau lomba tahunan.
Kita hidup di dunia algoritma. Apa yang viral, itulah yang hidup. Apa yang direkam dan dibagikan, itulah yang dikenang.
Pacu Jalur, sekuat apapun maknanya, bisa kalah gaung dari konten prank receh jika tak diberi panggung digital.
Tradisi ini harus naik FYP, bukan hanya naik pentas adat.
Karena itu, penting bagi anak muda Kuantan, Riau, dan Indonesia pada umumnya untuk mengabadikan, membagikan, dan memviralkan budaya mereka sendiri.
Bukan sekadar demi views. Tapi demi generasi selanjutnya.
Tradisi Butuh Kreator
Coba bayangkan:
- TikTok dengan behind the scene latihan dayung Pacu Jalur.
- Instagram Reels tentang makna hiasan kepala perahu.
- YouTube vlog "Sehari Menjadi Pendayung Jalur Tradisional".
- Twitter thread soal sejarah Pacu Jalur dan kolonialisme.
Bayangkan juga TikTok Challenge bertema #PacuJalurChallenge, di mana anak muda ikut mendayung atau memparodikan proses latihan, dengan tetap menghormati tradisinya.