"Dalam proses rekrutmen, kadang yang perlu dilamar bukan hanya perusahaan, tapi juga dua kepala yang berbeda tujuan: HRD dan user."
Dunia rekrutmen sering digambarkan sebagai proses profesional, terstruktur, dan obyektif. Tapi siapa pun yang pernah terlibat di dalamnya tahu: kadang proses rekrutmen itu lebih mirip drama Korea episode 17---penuh konflik terselubung, komunikasi dua arah yang putus nyambung, dan akhir cerita yang tidak selalu bahagia.
Salah satu drama abadi dalam dunia rekrutmen adalah hubungan antara HRD dan user (departemen yang membutuhkan tenaga kerja baru). Di atas kertas, mereka harusnya satu tim. Tapi di lapangan? Kadang lebih mirip duet musuhan yang tetap tampil bareng karena kontrak kerja belum habis.
HRD Ingin Realistis, User Masih Ingin Kandidat Avatar
Mari kita mulai dari akar masalah: ekspektasi.
HRD biasanya tahu betul kondisi pasar tenaga kerja: kompetensi yang tersedia, gaji pasaran, dan rata-rata waktu tunggu kandidat. Mereka ingin bergerak cepat dan efisien. Tapi user---yang kadang tidak pernah update lowongan kerja di LinkedIn sejak 2015---masih berharap mendapatkan kandidat seperti tokoh utama serial anime: serbabisa, setia, murah, dan selalu tersenyum.
Contohnya begini:
HRD: "Kandidat ini sesuai dengan kualifikasi dan punya pengalaman dua tahun."
User: "Tapi dia nggak punya pengalaman di industri kita, belum pernah pakai 8 software ini, dan belum punya sertifikat Agile."
HRD dalam hati: "Bu, kalo ada orang kayak gitu, biasanya dia yang buka usaha sendiri."
Masalahnya bukan user jahat. Mereka hanya belum paham realita pasar tenaga kerja. Mereka ingin yang terbaik, tapi tidak sadar bahwa terlalu banyak permintaan membuat semua kandidat terlihat kurang sempurna.
Meja Interview = Medan Konflik Terselubung
Interview kerja idealnya adalah dialog antara kandidat dan perusahaan. Tapi sering kali, yang terjadi adalah panggung debat internal antara HRD dan user, dengan kandidat sebagai penonton yang bingung.
Di awal sesi, semuanya tampak baik-baik saja: