Generasi Z dikenal sebagai kelompok yang paling melek digital. Mereka tumbuh di tengah gawai, media sosial, dan ekonomi digital yang terus berkembang. Mulai dari belanja online, investasi lewat aplikasi, hingga berkarier sebagai freelancer dan content creator, semuanya dijalankan dengan teknologi. Namun, di balik literasi digital yang tinggi, ada satu hal penting yang sering terlewat: literasi pajak.
Banyak anak muda yang sangat mahir mengelola akun media sosial dan memahami trend ekonomi digital, tetapi belum paham bagaimana pajak bekerja dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian bahkan masih menganggap pajak hanya urusan pegawai negeri atau pengusaha besar, padahal siapa pun yang berpenghasilan — termasuk influencer, freelancer, dan content creator — memiliki kewajiban pajak yang sama.
Fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kemajuan digital dan kesadaran fiskal di kalangan Gen Z. Padahal, di era ekonomi digital, hampir semua transaksi meninggalkan jejak digital yang dapat dilacak oleh sistem perpajakan. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bahkan telah beradaptasi dengan berbagai inovasi seperti e-Filing, e-Bupot, dan e-Faktur yang serba digital. Sayangnya, literasi pajak belum berjalan secepat perkembangan teknologi itu sendiri.
Salah satu penyebabnya adalah minimnya edukasi pajak sejak dini. Pendidikan formal di sekolah maupun perguruan tinggi masih jarang membahas perpajakan secara kontekstual dan aplikatif. Akibatnya, banyak generasi muda yang baru sadar pentingnya pajak setelah terjun ke dunia kerja atau bisnis digital. Padahal, di sisi lain, mereka sangat cepat belajar menggunakan aplikasi investasi, dompet digital, atau platform trading. Artinya, mereka sebenarnya memiliki kemampuan belajar yang tinggi, hanya saja belum difasilitasi dengan materi yang relevan tentang pajak.
Selain itu, stigma terhadap pajak juga masih menjadi penghambat. Pajak sering dianggap rumit, menakutkan, atau tidak memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. Padahal, pajak adalah sumber utama pembiayaan negara — dari pembangunan jalan, pendidikan, hingga bantuan sosial. Jika generasi muda memahami hal ini sejak awal, mereka akan melihat pajak bukan sebagai beban, melainkan sebagai bentuk kontribusi sosial dan nasionalisme modern.
Kondisi ini harus menjadi perhatian bersama, terutama bagi pemerintah dan lembaga pendidikan. Literasi pajak harus mulai diajarkan dengan pendekatan yang menarik dan relevan dengan dunia Gen Z. Misalnya, melalui konten edukatif di media sosial, short video di TikTok, atau kolaborasi dengan influencer keuangan yang memiliki kredibilitas. DJP dan komunitas akuntansi juga bisa menggandeng kampus untuk mengadakan tax talk ringan atau bootcamp pajak digital agar pemahaman ini bisa tumbuh sejak muda.
Dari sisi teknologi, digitalisasi sistem perpajakan sebenarnya menjadi peluang besar untuk menarik minat generasi muda. Sistem yang serba online dan mudah diakses bisa mengubah citra pajak dari hal yang “ribet” menjadi hal yang “mudah dan keren”. Aplikasi perpajakan pribadi yang terintegrasi dengan sistem akuntansi digital, misalnya, bisa membantu freelancer atau creator menghitung dan melaporkan pajak tanpa perlu repot.
Namun, transformasi ini akan sia-sia jika kesadaran dasarnya belum terbentuk. Melek digital tidak otomatis berarti melek fiskal. Di tengah arus ekonomi digital, kemampuan memahami dan mengelola pajak adalah bentuk kecerdasan finansial yang sesungguhnya. Gen Z yang cerdas teknologi tapi tidak memahami pajak ibarat pengemudi mobil listrik yang tidak tahu aturan lalu lintas: cepat, modern, tapi berisiko tersandung di jalan.
Oleh karena itu, sudah saatnya literasi pajak menjadi bagian dari gerakan literasi digital nasional. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan pelaku industri perlu berkolaborasi untuk menciptakan ekosistem edukasi pajak yang adaptif, interaktif, dan berbasis teknologi. Pajak harus dikenalkan bukan sekadar sebagai kewajiban negara, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab sosial warga digital yang ikut berkontribusi membangun masa depan bangsa.
Jika generasi muda Indonesia ingin menjadi bagian dari ekonomi global yang cerdas dan berdaya saing, mereka tidak hanya harus paham coding, crypto, atau content creation, tetapi juga harus paham pajak. Karena di era digital, financial literacy tanpa tax literacy hanyalah setengah dari kecerdasan finansial.