Lihat ke Halaman Asli

Firyaal Rajwaa Kayana

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Airlangga

Lost in Translation: Ketika "Iya" Berarti "Mungkin" dalam Gaya Komunikasi Orang Indonesia.

Diperbarui: 8 Oktober 2025   21:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar ilustrasi diambil dari Google Images, diakses melalui tautan https://share.google/images/aCtzKhhETuhoaS9kF 

Ketika sopan santun jadi jebakan halus di percakapan lintas budaya

Kamu pernah nggak, berhadapan dengan orang yang bilang, "Saya coba, ya," padahal maksudnya "kayaknya sih nggak bisa"? Atau dengar teman ngomong, "lihat nanti deh ya," yang sebenarnya berarti "tidak"? Di Indonesia, kalimat-kalimat seperti ini terdengar sopan, tapi buat orang asing bahkan sesama orang Indonesia dari budaya berbeda bisa jadi sumber salah paham besar.

Di balik kata-kata lembut itu, ada seni komunikasi yang khas: menyampaikan pesan tanpa benar-benar mengatakannya. Sebuah kebiasaan yang tumbuh dari nilai rukun (harmoni) dan tenggang rasa (empati), tapi sering bikin bingung di dunia modern yang menuntut semua serba jelas dan cepat. Terkadang hal seperti ini justru membuat salah paham antar pihak dan paling buruk bisa menimbulkan kekecewaan.

Akar dari Gaya Bicara Halus

Indonesia dikenal sebagai budaya berkonteks tinggi (high-context culture), istilah ini diambil dari antropolog Edward T. Hall (1976). Di sini, pesan nggak selalu disampaikan secara eksplisit. Kadang maknanya ada di nada bicara, ekspresi, atau konteks situasi. Singkatnya, yang nggak diucapkan justru bisa lebih penting dari yang diucapkan.

Kata "tidak" secara langsung sering terdengar kasar dan bisa dianggap terlalu cuek. Karena itu, orang Indonesia lebih nyaman pakai ungkapan seperti mungkin nanti, insyaAllah, atau kurang tahu. Dengan begitu, mereka tetap terdengar sopan dan menghindari anggapan jawaban yang kasar.

Menurut Hofstede Insights (2023), Indonesia punya tingkat kolektivisme (collectivism) dan jarak kekuasaan (power distance) yang tinggi. Artinya, kita sangat menghargai kerja sama dan juga menghormati hierarki. Jadi wajar kalau bawahan sering mengiyakan atasan meski sebenarnya ragu, demi menjaga suasana tetap damai. Menurut ahli komunikasi Stella Ting-Toomey (1999), komunikasi tidak langsung bukan berarti menyembunyikan kebenaran, tapi cara untuk menjaga hubungan baik. Tujuannya bukan untuk menghindar, tapi untuk tetap sopan tanpa menyinggung orang lain.

Ketika Kata dan Niat Berbeda Arah

Namun sayangnya berbeda budaya artinya berbeda juga cara komunikasinya, di dalam dunia global, gaya bicara seperti ini malah sering bikin salah paham loh.
Bayangkan: seorang manajer asal Amerika di Jakarta bertanya, "Bisa selesaikan laporan ini Jumat nanti?" Karyawannya menjawab, "Saya coba, ya pak." Si manajer dengar "iya," padahal maksud si karyawan, "mungkin nggak sempat." Ketika Jumat tiba dan laporan belum jadi, akan terjadi kesalah pahaman dan juga muncul rasa kecewa dari pihak yang meminta.

Perlu diketahui bahwa budaya komunikasi yang berbeda seperti di negara Amerika atau Jerman yang menerapkan budaya berkonteks rendah (low-context culture), orang diajarkan untuk berbicara langsung atau to the point  dan jujur tidak bertele - tele agar berarti jelas maknanya. Sementara di Indonesia yang menerapkan budaya berkonteks tinggi (high-context culture), berbicara halus dan tidak langsung dianggap lebih sopan dan bijak.

Bahkan di Indonesia sendiri, gaya komunikasi bisa sangat beragam. Orang Jawa cenderung lembut dan berlapis-lapis dalam menolak, sedangkan orang Batak atau Minang biasanya lebih blak-blakan.
Contohnya, orang Jawa mungkin bilang, "Mungkin bisa nanti," sementara orang Batak akan bilang langsung, "Nggak bisa." Dua-duanya sama-sama sopan, cuma caranya beda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline