Saya terkesima jika tak boleh dibilang terheran-heran saat membaca komentar seorang Kompasianer atas tulisan salah satu Kompasianer luar biasa, Bapak Budi Susilo.
Saya sebut luar biasa sebab fakta dan datanya begitu. Bukan cuma asumsi dan asal memuji. Beliau memang luar biasa dalam reportasenya. Dan ini pujian murni bukan sekadar melakukan sugar coating. Â
Kemarin saya membaca artikel yang baru beliau tayangkan dengan judul, "Memang Artikel Utama di Kompasiana Sepi Pembaca? "
Seusai baca artikelnya, saya gaskeun membaca ruang komentar. Karena pada umumnya, artikel dengan diksi judul Kompasiana, Kompasianer, K-Reward atau Artikel Utama, komentarnya lebih nendang, menarik dan lebih membuka ruang dialektika.Â
Bukan sekadar komentar satu, dua atau tiga kata maupun sebaris kalimat baku yang sering kali hanya salin tempel.Â
Ada keakraban yang diciptakan di ruang komentar dengan penggunaan diksi demikian. Meskipun sesekali juga kejengkelan, seperti apa yang dibilang Kompasianer Ayah Tuah, "Karena jengkel itu sebagian dari yang menjengkelkan".
Sebuah kejengkelan yang terbaca sebagai keakraban dengan Kompasianer Engkong Felix Tani, yang tentu saja bukan keakraban yang dibangun oleh Ayah Tuah hanya dalam satu atau dua kali komentar (tegur sapa) pada ruang dialektika.Â
Namun membaca komentar Kompasianer Novia Respati atas tulisan Kompasianer Pak Budi Susilo, rasanya bukan ingin menciptakan keakraban.
Sepertinya juga bukan untuk menimbulkan kejengkelan, tapi membuat napas serasa tercekat di tenggorokan. Membuat bingung bin heran, kok bisa?
Mari kutip dulu komentarnya, "Cari perbandingan buat artikel sendiri yg AU aja udah capek dan males ya Pakde. Tapi ada loh, yg kurang kerjaan ngurusin si Anu bulan ini AU 8, si Itu AU 9 dan seterusnya. Gabut amat hidupnya"