Ada kalanya kita merasa bahwa suasana kerja di kantor pemerintahan itu sangat manis---terlalu manis. Setiap perkataan terasa sebagai pujian, setiap laporan dibalut dengan embel-embel "Alhamdulillah", "Terima kasih banyak", "Saya menghargai usaha Ibu/Bapak", bahkan ketika hasilnya belum sepenuhnya memuaskan.Â
Manisnya sampai terasa lengket. Dan seringkali kita bertanya-tanya: apakah ini sekadar sopan santun? Ataukah ada sesuatu di balik keindahan kalimat yang sedemikian halusnya itu?
Fenomena ini bisa disebut sugar coating---ketika kata-kata manis atau basa-basi dipakai untuk menyamarkan rasa takut, ketidakberanian mengkritik, atau menjaga agar suasana tetap "aman".Â
Di birokrasi ASN, sugar coating bisa menjadi budaya yang hampir tak terelakkan karena struktur hierarki yang kuat, norma sosial yang tinggi, dan keharusan menjaga citra diri di depan atasan maupun rekan kerja.Â
Namun, jika tidak dikendalikan, kultur sugar coating dapat membawa dampak yang merugikan---bukan hanya bagi seorang ASN, tapi bagi organisasi secara keseluruhan.
Di artikel ini saya mencoba menggali bagaimana sugar coating tumbuh subur di lingkungan birokrasi ASN, mengapa kita perlu membiasakan diri menghadapi itu, dan bagaimana cara melakukannya agar kita tetap memiliki integritas dan ketenangan batin.
Asal-Usul Sugar Coating
Untuk memahami mengapa sugar coating menjadi sesuatu yang "normal" di birokrasi ASN, pertama-tama kita perlu melihat faktor budaya komunikasi di Indonesia. Komunikasi di negara kita cenderung memakai pendekatan high-context, di mana banyak hal disampaikan melalui isyarat, tidak langsung, dan sangat memperhatikan keharmonisan.Â
Kritik langsung dianggap kasar, menyinggung, atau membuat suasana tidak nyaman. Rasa sungkan, segan, takut mengecewakan atasan atau dianggap tidak loyal menjadi penghalang agar kita tidak jujur secara terbuka.Â
Dalam penelitian budaya organisasional birokrasi, ditemukan istilah seperti pakewuh atau rasa tidak enak bila harus menyampaikan sesuatu yang mungkin dianggap negatif terhadap pimpinan (Undip E-Journal).
Struktur hierarki di ASN memperkuat kebiasaan ini. Atasan adalah referensi otoritas yang tinggi, bawahan diharapkan untuk menaati, mendukung, bahkan kadang menyamankan perasaan atasan agar tidak ada gesekan.Â