Rahasia di Balik Daun Kedondong
Karya: Muhalbir
Pagi itu, embun menitik di ujung daun-daun kedondong di halaman belakang rumah Darsa. Udara masih berbau tanah basah, dan ayam-ayam jantan bersahutan dari kejauhan. Di balik suara itu, Arga---remaja berusia enam belas tahun---sedang menunduk memerhatikan daun kedondong yang baru tumbuh di dahan muda. Warnanya lebih hijau dari biasanya, seolah menyimpan kilau cahaya matahari yang belum lahir.
"Arga, bantu bapak menimba air di sumur," suara Darsa memecah lamunannya.
"Sebentar, Pak. Aku lihat daun ini berubah warnanya sejak kemarin sore," jawab Arga, matanya tak lepas dari lembaran hijau yang bergetar ringan diterpa angin.
Darsa mendekat. Ia menatap anaknya dengan senyum getir. "Kau ini selalu saja penasaran dengan hal kecil. Daun itu cuma daun, Nak. Tak semua yang berbeda harus dicari artinya."
Namun bagi Arga, kata cuma daun adalah panggilan untuk bertanya lebih dalam. Ia telah membaca buku-buku peninggalan guru IPA di SMP yang pernah memberinya pinjaman majalah tentang bioteknologi sederhana. Dari situ ia tahu, setiap daun menyimpan rahasia reaksi kimia yang membuat dunia ini tetap bernapas.
Rumah keluarga Darsa berdiri di pinggir desa Lempangang. Desa itu dikelilingi sawah, sungai kecil, dan kebun buah-buahan yang menghijau sepanjang tahun. Darsa dikenal sebagai pengrajin alat pertanian sekaligus penanam tanaman obat. Ia sering diminta membantu warga yang demam, batuk, atau luka dengan racikan daun-daunan.
Istrinya, Sumiati, wanita lembut yang gemar menenun dan menyeduh jamu, sering berkata,
"Setiap daun itu punya doa, Gar. Kalau kau menatapnya dengan hati yang bersih, kau akan tahu doa apa yang ia bisikkan."
Kalimat itu terus melekat di benak Arga. Tapi doa daun kedondong, entah mengapa, terasa berbeda.
Suatu malam, ketika bulan separuh menggantung di atas pohon nangka, Sumiati terbaring lemah di dipan bambu. Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia batuk tanpa henti.
"Sejak tadi sore ibu mengeluh dada sesak," kata Darsa, gelisah.
"Apa sudah diberi ramuan jahe dan madu?" tanya Arga.
"Sudah, tapi demamnya makin tinggi."
Tabib desa datang keesokan paginya. Ia menggeleng pelan. "Ini bukan sakit biasa. Paru-parunya lemah. Perlu istirahat lama. Mungkin juga karena udara lembap dan asap dapur."