Kabar kesembuhan itu menyebar cepat. Warga desa datang silih berganti, meminta Arga membuatkan ramuan serupa. Ada yang sembuh dari batuk lama, ada pula yang merasa bugar kembali. Mereka menyebutnya "air hijau penyembuh".
Namun, semakin sering digunakan, Arga menyadari sesuatu aneh. Daun kedondong yang dipetiknya mulai kehilangan kilau. Warnanya memucat. Sementara itu, ibunya yang semula pulih, mulai sering mengigau saat tidur. Ia mengucapkan kata-kata tak jelas---seperti menyebut nama yang tak dikenal.
"Rama... jangan biarkan cahaya itu hilang..." begitu kata-kata yang keluar dari bibirnya.
Siapa Rama? Darsa maupun Arga tak tahu.
Suatu malam, Arga bermimpi aneh. Ia berdiri di tengah hutan kedondong raksasa. Setiap daun berpendar hijau, menerangi jalan di hadapannya. Dari balik kabut, muncul sosok lelaki tua berambut putih, membawa tongkat.
"Daun itu bukan untuk semua manusia, Nak," katanya. "Ia hanya menjawab doa yang lahir dari kasih. Tapi jika kau paksa ia menjadi ilmu, ia akan mengambil kembali apa yang ia beri."
Arga terbangun dengan napas memburu. Ia berlari ke kamar ibunya. Sumiati masih tidur, tapi wajahnya tenang. Di meja kecil di sebelahnya, segelas air hijau itu masih setengah penuh---namun kini warnanya pudar seperti abu-abu daun layu.
Keesokan harinya, Darsa dan Arga kembali ke kebun. Mereka memandangi pohon kedondong itu. Setengah daunnya telah rontok. Darsa berkata pelan,
"Kau tahu, dulu kakekmu juga punya pohon kedondong seperti ini. Ia bilang, pohon itu muncul sendiri di tanah tempat ia menanam doa untuk nenekmu yang meninggal muda. Sejak itu, setiap kali ada yang sakit, daun kedondongnya selalu mujarab."
Arga menatap ayahnya. "Jadi... mungkin pohon ini juga tumbuh dari doa?"
Darsa hanya diam. Angin berhembus membawa aroma asam manis khas kedondong, seolah menyentuh masa lalu yang enggan hilang.