"Ketika para tetua duduk melingkar di beranda, di sanalah hukum, adat, dan kebijaksanaan bersatu".
Saya tumbuh dan besar di sebuah kampung kecil di Pidie, Aceh. Setiap orang tua di kampung saya tampak punya wibawa tersendiri. Saat kecil, saya sering melihat kakek duduk bersama lelaki tua lainnya di beranda rumah. Hampir setiap malam, kadang mereka berbincang pelan, kadang diselingi tawa kecil, tetapi raut wajah mereka selalu serius. Saya dulu waktu kecil tak pernah benar-benar tahu apa yang mereka bicarakan. Yang saya tahu, setelah perbincangan itu kondisi Kampung kembali menjadi kondusif. Perselisihan antar warga kembali mereda begitu saja.
Bertahun-tahun kemudian, setelah kakek meninggal, pemandangan serupa saya lihat lagi. Ayah juga sering kedatangan tamu ke rumah, baik itu warga maupun lelaki-lelaki tua yang sekedar berbincang sampai larut malam. Ketika dewasa akhirnya saya baru mengerti, kakek, ayah, dan lelaki-lelaki tua itu bukan orang biasa. Mereka adalah tuha gampong, bagian dari tradisi panjang masyarakat Aceh yang menjunjung tinggi bermusyawarah. Di antara mereka ada yang disebut sebagai Tuha Peut dan Tuha Lapan, para tetua yang menjaga keseimbangan kehidupan di Kampung.
Sejak zaman Kesultanan Iskandar Muda, Aceh telah memiliki sistem Pemerintahannya sendiri. Di dalam pemerintahan gampong (Kampung), ada tiga lembaga yang mengatur jalannya pemerintahan yaitu eksekutif, legislatif dan lembaga pemerintahan bidang agama.
Lembaga eksekutif ini adalah Keuchik/Geuchiek sebagai Kepala Desa. Eksekutif diisi oleh para Tuha Peut dan lembaga bidang agama biasanya dijabat oleh Teungku imum atau imam. Tulisan ini mengajak kita lebih dekat mengenal siapa sebenarnya Tuha Peut dan Tuha Lapan, serta apa peran mereka dalam menjaga tatanan sosial dan demokrasi lokal di Aceh ?
Peran Tuha Peut dalam Pemerintahan Gampong
Dalam struktur pemerintahan gampong di Aceh, Tuha Peut memiliki kedudukan istimewa. Layaknya fungsi legislatif yang dimiliki, Tuha Peut menjadi sosok "dewan penasehat" bagi Keuchik dalam mengatur kebijakan di gampong. Kalau dalam istilah nasional, Tuha Peut juga dikenal sebagai Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Tuha Peut bertugas untuk menampung, menyampaikan serta mengawasi suara masyarakat untuk disampaikan kepada Keuchik sebagai pemegang kekuasaan eksekutif di gampong. Istilah Tuha Peut sendiri mempunyai arti, Tuha artinya tua, dan Peut artinya empat. Jika diartikan secara umum, Tuha Peut berarti empat orang tetua.
Tuha Peut ini diisi oleh ulama, tokoh adat, cerdik pandai dan tokoh masyarakat. Tuha Peut sendiri dipilih langsung oleh masyarakat. Tuha Peut bukan hanya menjadi pengawas pemerintahan gampong, namun juga ikut berperan dalam membuat kebijakan, menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong (APBG).
Selain itu, dalam musyawarah Tuha Peut sering menjadi penyeimbang suara masyarakat agar keputusan tidak berat sebelah. Karena pada dasarnya mereka dipilih langsung oleh masyarakat dalam musyawarah, maka suara mereka pun harus mewakili masyarakat.
Di dalam kehidupan sosial di gampong, tidak semua masalah harus dibawa ke ranah hukum formal. Ada juga fungsi Tuha Peut dalam penyelesaian sengketa antarwarga. Karena pada dasarnya, keputusan yang diambil oleh Tuha Peut bisa menjadi yang lebih bijak, karena mengutamakan kepentingan bersama, ada asas adat, dan juga solusi kebersamaan untuk menjaga keharmonisan masyarakat.