Lihat ke Halaman Asli

Fathur Setiawan

Mahasiswa Universitas Indonesia

Mengapa Permintaan Maaf Willem-Alexander, Raja Belanda, Justru Melukai Hati Veteran Perang Belanda?

Diperbarui: 9 Juni 2025   22:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada bulan Maret 2020, sebuah peristiwa penting terjadi di Jakarta. Raja Belanda, Willem-Alexander, berdiri di hadapan publik Indonesia dan secara resmi menyampaikan permintaan maaf atas "excessive violence" atau "kekerasan berlebihan" yang dilakukan negaranya selama perang kemerdekaan Indonesia (1945-1949). Di atas kertas, ini adalah langkah besar yang patut dipuji, sebuah upaya tulus untuk menyembuhkan luka sejarah antara dua bangsa.

Namun, di Belanda, berita ini tidak disambut dengan tepuk tangan oleh semua orang. Dikutip dari NOS, reaksi orang-orang terhadap permintaan maaf yang disampaikan Raja Willem-Alexander ini sangat mengejutkan, lega tetapi juga membuat kesal. Untuk pertama kalinya dan bertentangan dengan harapan.

"Ketika Anda mendengar raja mengatakannya, Anda dapat melihat bahwa ia ragu-ragu saat mengucapkan kata-kata permintaan maaf dan penyesalan . Tampaknya ia menyadari betapa beratnya hal itu. Itu juga menunjukkan sejarah macam apa yang melekat padanya," (Esther Captain, 2020).

Bagi veteran yang dulu dikirim ke Indonesia, termasuk John Bruininga dan Ton Kelders, permintaan maaf itu terasa seperti sebuah serangan. Kemarahan dan kekecewaan mereka bukanlah reaksi yang sederhana. Ini adalah puncak dari perasaan rumit yang telah terpendam selama puluhan tahun, yang berakar pada rasa pengkhianatan, ketidakadilan, dan benturan antara kenyataan pahit di medan perang dengan narasi damai masa kini.

Mari kita selami lebih dalam alasan di balik reaksi para veteran Belanda, John Bruininga dan Ton Kelders.

Perasaan Dikhianati oleh Negara yang Pernah Mereka Bela

Bayangkan Anda mendedikasikan masa muda Anda untuk negara. Anda meninggalkan rumah, keluarga, dan mempertaruhkan nyawa karena negara memanggil Anda untuk bertugas. Bagi John Bruininga, seorang veteran, menjadi tentara adalah bagian terpenting dari identitas mereka. Selama lebih dari 70 tahun, mereka membawa kenangan baik dan buruk sebagai prajurit yang telah menjalankan kewajiban.

Lalu, tiba-tiba, kepala negara Anda sendiri, sang Raja, mengatakan bahwa apa yang Anda lakukan adalah salah dan berlebihan. Bagi veteran seperti John Bruininga, seorang mantan marinir, permintaan maaf itu terasa seperti "sebuah tikaman dari belakang" (een steek in de rug). Rasa sakitnya begitu mendalam hingga ia secara simbolis membuang tanda kehormatan kerajaan yang pernah ia terima dengan bangga "Met eer heb ik het gedragen maar ik flikker het weg! Daar heb ik niks meer aan!" Ucap John Bruininga sambil membuang tanda kehormatannya.

Permintaan maaf Raja menciptakan benturan batin yang menyakitkan. Tindakan yang dulu dianggap sebagai pengabdian, kini diberi label negatif oleh pihak yang paling mereka hormati. Mereka merasa negara telah mencuci tangan dan meninggalkan mereka sendirian untuk menanggung malu sejarah.

Merasa Dijadikan "Kambing Hitam" dari Cerita yang Berat Sebelah

Ton Kelders merasa bahwa permintaan maaf Raja melukiskan gambaran yang tidak lengkap dan tidak adil. Ia merasa dijadikan "kambing hitam" atas keputusan-keputusan politik yang dibuat oleh para pejabat di Den Haag puluhan tahun yang lalu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline