Mohon tunggu...
Yana Karyana
Yana Karyana Mohon Tunggu... Aktivis konsen dalam kajian Politik, Pendidikan dan Hukum

Aktif sebagai Dosen dan mengabdi dibeberapa organisasi,Pengurus DPP PK-Tren Indonesia, Ketua Persatuan Guru Nahdlatul Ulama [Pergunu], Ketua MWC NU Jati Uwung/Cibodas, Wakil Sekretaris PCNU Kota Tangerang/Milanisti

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kasus SMAN 1 Cimarga Lebak Menguji Akal Sehat Pendidikan Antara Disiplin, Hak dan Moral

15 Oktober 2025   00:24 Diperbarui: 15 Oktober 2025   00:29 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SMAN 1 Cimarga Kabupaten Lebak, Banten (Sumber: Detik.com))

Apa jadinya sebuah bangsa ketika sekolah kehilangan wibawa, guru kehilangan otoritas, dan murid kehilangan rasa hormat? Ketika yang ditegur merasa terzalimi, dan yang menegur justru diadili? Beginilah wajah pendidikan kita hari ini disiplin dianggap kekerasan, dan pelanggaran dibungkus dalam retorika hak asasi manusia.
Pendidikan yang seharusnya menjadi ruang pembentukan akal sehat dan karakter kini berubah menjadi arena benturan antara nilai, emosi, dan tafsir kebebasan. Di satu sisi, sekolah berjuang menanamkan moral dan tanggung jawab; di sisi lain, sebagian masyarakat bahkan orang tua menafsirkan ketegasan sebagai pelanggaran hak. Ketika setiap teguran dianggap kekerasan dan setiap upaya mendisiplinkan dipolisikan, apa yang tersisa dari makna mendidik itu sendiri?
Kasus Cimarga: Disiplin yang Dipersoalkan
Kasus dugaan kekerasan terhadap siswa di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, menjadi cermin nyata dari krisis nilai tersebut. Kepala sekolah Dini Fitria membenarkan bahwa sebanyak 630 siswa dari 19 kelas tidak masuk sekolah, sebagai bentuk protes terhadap dirinya. Peristiwa itu bermula saat kegiatan Jumat Bersih, ketika seorang siswa kelas XII berinisial ILP (17) kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Saat ditegur, siswa itu membantah. Dini mengaku kecewa terhadap kebohongan itu.
"Saya bukan marah karena dia merokok, tapi karena dia berbohong. Saat itu saya kecewa dan menegur dengan keras, bahkan sempat memukul pelan karena menahan emosi. Tapi saya tegaskan, tidak ada pemukulan keras," ujar Dini Fitria.
Namun, orang tua siswa, Tri Indah Alesti, melaporkan Dini ke pihak kepolisian dengan tuduhan kekerasan terhadap anaknya. Kasus ini pun memicu reaksi berantai, mogok belajar massal, tekanan opini publik, hingga keputusan pemerintah daerah menonaktifkan sementara kepala sekolah yang berusaha menegakkan disiplin akhirnya harus menghadapi sanksi sosial dan hukum, sementara pelanggaran mendapat pembelaan.
Tujuan dan Nilai Pendidikan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab. Tujuan ini jelas menempatkan moral dan karakter sebagai inti dari pendidikan.
Demikian pula, Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) menegaskan pentingnya penanaman nilai-nilai utama seperti religiusitas, nasionalisme, kemandirian, gotong royong, dan integritas. Artinya, pendidikan karakter bukan pelengkap, tetapi jiwa dari sistem pendidikan nasional.
Namun, ironinya, ketika sekolah berupaya menegakkan nilai-nilai itu, sebagian masyarakat justru menolaknya dengan alasan pelanggaran hak asasi. Ketika guru mendidik dengan ketegasan, ia dipersoalkan dan ketika ia diam, moral generasi pelan-pelan runtuh.

Hak dan Tanggung Jawab Moral
Hak asasi manusia sejatinya hadir untuk menjaga martabat, bukan membenarkan kesalahan.
Ketika konsep HAM dipisahkan dari tanggung jawab moral, ia berubah menjadi alat pembenaran bagi perilaku salah. Kita lupa bahwa hak tanpa tanggung jawab hanyalah bentuk baru dari egoisme sosial.
Dalam konteks pendidikan, disiplin bukan kekerasan, tetapi kasih sayang yang rasional.
Teguran bukan penghinaan, melainkan bentuk kepedulian seorang guru terhadap masa depan muridnya. Namun kini, ruang pendidikan kehilangan keberanian moralnya. Setiap tindakan pendisiplinan diukur dengan pasal hukum, bukan dengan nilai moral atau tanggung jawab mendidik.
Lebih jauh, krisis ini menyingkap keretakan kepercayaan antara masyarakat dan lembaga pendidikan. Ketika orang tua lebih cepat membawa persoalan ke polisi daripada berdialog dengan guru, maka yang rusak bukan hanya hubungan sosial, melainkan fondasi kepercayaan moral bangsa.
Sekolah Sebagai Benteng Terakhir
Sekolah sejatinya adalah benteng terakhir moral bangsa. Di sanalah nilai kejujuran, kedisiplinan, dan tanggung jawab sosial ditempa. Namun benteng itu kini mulai retak tergerus tafsir kebebasan yang tanpa arah, budaya digital yang reaktif, dan publik yang mudah menghakimi tanpa memahami konteks mendidik.
Kita menyaksikan generasi yang pandai menuntut hak, tapi gagap menjalankan kewajiban, pandai berbicara, tapi enggan mendengar, berani melawan, tapi lemah menghormati.
Jika tren ini dibiarkan, pendidikan kita hanya akan melahirkan generasi yang cerdas secara akademis, tetapi kosong secara moral.

Saatnya Negara Hadir dan Melindungi Pendidik
Krisis di Cimarga bukan semata tentang dugaan tamparan, melainkan tamparan keras terhadap akal sehat bangsa, yang diadili hari ini bukan hanya kepala sekolah, tetapi nurani kolektif kita.
Kita sedang menyaksikan bagaimana lembaga Pendidikan benteng nilai dan karakter dikalahkan oleh tafsir kebebasan yang tanpa tanggung jawab.
Pendidikan sejatinya bukan tentang siapa yang menang atau kalah, tetapi tentang siapa yang tumbuh menjadi manusia beradab. Bangsa ini tak akan hancur karena kekurangan orang pintar, tetapi karena hilangnya orang jujur dan berkarakter. Sebelum kita sibuk menyalahkan guru, sekolah, atau sistem, mari bercermin, apakah kita masih menghormati pendidikan, atau hanya menjadikannya panggung pembenaran ego dan emosi kita?
Sudah saatnya kita mengembalikan akal sehat ke ruang Pendidikan menjadikan disiplin sebagai wujud kasih sayang, dan teguran sebagai tindakan mendewasakan. Bangsa yang gagal membedakan antara mendidik dan menindas, antara menegur dan melukai, adalah bangsa yang perlahan kehilangan jati dirinya. Karena itu, saatnya pemerintah bersikap tegas dan serius mengurus soal pendidikan. Negara tidak boleh berdiam diri menyaksikan kriminalisasi terhadap para pendidik yang menjalankan tanggung jawab moralnya. Perlindungan hukum bagi guru harus ditegakkan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang menjamin hak guru atas rasa aman dan perlindungan dalam melaksanakan tugas profesional.
Pendidikan bukan arena konflik antara pendidik dan peserta didik, melainkan ruang dialog nilai dan karakter dan negara wajib memastikan ruang itu tetap bermartabat, terlindungi, dan berorientasi pada pembentukan manusia beradab. Sebab bila negara terus membiarkan guru berjalan sendirian tanpa perlindungan, maka sesungguhnya kita sedang menggali kubur bagi masa depan bangsa sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun