Ketika Angka Kemiskinan Menjadi Instrumen Politik...
Pada Juli 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) kembali merilis data kemiskinan yang mengklaim bahwa tingkat kemiskinan Indonesia turun menjadi 8,47% atau 23,85 juta jiwa per Maret 2025. Angka ini turun tipis 0,1 poin persentase dari September 2024 yang sebesar 8,57%. Dengan bangga, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyebut ini sebagai "bukti komitmen pemerintah dalam pengentasan kemiskinan."
Namun, di balik euforia statistik ini, tersembunyi realitas yang jauh lebih kompleks dan mengkhawatirkan. Data BPS yang terkesan "baik-baik saja" ini telah menuai kritik tajam dari berbagai kalangan peneliti, akademisi, dan lembaga kajian independen. Mereka mempertanyakan validitas metodologi yang digunakan BPS, yang dinilai sudah ketinggalan zaman dan tidak mencerminkan kondisi riil masyarakat Indonesia.
Paradoks Mengejutkan: 8,47% vs 68,3%
Ketika BPS mengklaim hanya 8,47% penduduk Indonesia yang hidup dalam kemiskinan, Bank Dunia melalui Macro Poverty Outlook pada April 2025 mengejutkan dengan temuan yang sangat berbeda: sekitar 68,2 persen penduduk Indonesia, setara dengan 194,4 juta jiwa, hidup di bawah garis kemiskinan internasional US$6,85 per hari.
Perbedaan yang mencengangkan ini bukan sekadar masalah teknis pengukuran, melainkan menunjukkan ketidakkonsistenan fundamental dalam cara Indonesia memahami kemiskinan. Gap data kemiskinan BPS (8,47%) dan Bank Dunia (68,3%) memantulkan paradoks ini: pertumbuhan ekonomi tidak otomatis menciptakan kesejahteraan merata.
Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Bhima Yudhistira, dengan tegas menyatakan bahwa penduduk miskin di lapangan sebenarnya jauh lebih banyak dari data resmi pemerintah. Pernyataan ini bukan tanpa dasar, mengingat CELIOS telah melakukan penelitian lapangan yang menunjukkan ketidaksesuaian antara data statistik dengan realitas di lapangan.
Metodologi Usang: Warisan 1998 yang Tak Kunjung Diperbarui
Salah satu kritik paling mendasar terhadap BPS adalah penggunaan metodologi Cost of Basic Needs (CBN) yang sudah berusia hampir tiga dekade. Peneliti utama SMERU Research Institute, Asep Suryahadi, mengatakan, standar garis kemiskinan itu sudah tidak relevan karena pemerintah masih mengacu pada metodologi pengukuran garis kemiskinan yang berlaku sejak tahun 1998 dan belum pernah dievaluasi.
Ketidakrelevanan metodologi ini semakin kentara ketika kita melihat perubahan pola konsumsi masyarakat Indonesia selama 27 tahun terakhir. Pada 1998, internet belum menjadi kebutuhan dasar, biaya pendidikan belum semahal sekarang, dan makanan jadi belum mendominasi pola konsumsi masyarakat urban. Namun, BPS masih berpegang teguh pada asumsi bahwa 74,5% pengeluaran rumah tangga miskin adalah untuk makanan, padahal realitas menunjukkan proporsi yang berbeda.
Ironisnya, BPS sendiri mengakui perlunya pembaruan metodologi. Namun, proses yang seharusnya dimulai sejak 2020 ini terus terhambat dengan alasan "kompleksitas pola konsumsi dan keterbatasan data." Keengganan ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada kepentingan politik di balik mempertahankan metodologi usang tersebut.