Mohon tunggu...
Yohana Elga dan Jovita Gianina
Yohana Elga dan Jovita Gianina Mohon Tunggu... Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Untuk tugas Klinik Perlindungan Perempuan dan Anak dengan Dosen Pengampu Dr. Rosmalinda, S.H., LLM. & Dr. Fajar Khaify Rizky, S.H., M.H.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga

16 Oktober 2025   03:50 Diperbarui: 16 Oktober 2025   04:33 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Oleh Yohana Elga Tamba dan Jovita Gianina Tarigan

Kekerasan terhadap perempuan dan  anak menjadi salah satu permasalahan dari sekian banyak permasalahan-permasalahan pokok mengenai HAM yang terus coba untuk dihadapi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Dari sekian banyak bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, salah satu hal yang paling banyak disoroti adalah perbuatan kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi terhadap perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk perbuatan yang bertentangan dengan konsep dasar kemanusiaan yang ada.

Ditinjau dari tataran instrumen hukum, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi negara pada dasarnya telah mengatur secara jelas pemberian hak kesetaraan dan perlindungan bagi perempuan dalam ikatan perkawinan yang tercantum dalam Pasal 28G ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Upaya serius dalam penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan juga telah coba direspon pemerintah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) undang-undang ini mengatur empat bentuk kekerasan dalam rumah tangga, yakni kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga. Meski demikian, pengesahan instrumen hukum ini dirasa tidak cukup bila melihat fakta yang terjadi di masyarakat yang menunjukkan tingginya frekuensi tindak kekerasan dalam rumah tangga yang menempatkan perempuan dan anak sebagai korban didalamnya.

Walaupun sudah ada dasar hukum yang kuat, korban KDRT kerap tidak mendapatkan keadilan yang semestinya karena korban enggan melapor atau tidak mendapatkan dukungan dari lingkungan sekitar yang membicarakan kasus KDRT keluarga dianggap aib dan privasi bagi setiap masing-masing keluarga. Padahal, Pasal 2 UU PKDRT menegaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kejahatan yang harus ditindak secara hukum. Hal ini menunjukkan masih adanya kesenjangan antara substansi hukum dengan implementasi di lapangan.

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi masalah serius di Indonesia. Catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menunjukkan bahwa tahun 2024, telah terjadi total 28.789 kasus kekerasan. Dari total kasus tersebut, mayoritas korban adalah perempuan dengan 24.973 kasus. Sedangkan korban laki-laki berada di angka 3.816 kasus. Angka kasus kekerasan di Indonesia tahun 2024 terpantau meningkat cukup tinggi dibanding tahun 2023 dengan total 18.466 kasus. Lebih lanjut, Kemen PPPA menjelaskan bahwa KDRT menjadi jenis kasus kekerasan tertinggi dalam kelompok kasus jumlah korban berdasarkan tempat kejadian. Terdapat 19.045 kasus KDRT yang dilaporkan sepanjang tahun 2024. Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyebutkan bahwa jumlah kasus perceraian karena faktor KDRT di Indonesia tahun 2023 mencapai 5.174 kasus.

Begitu banyaknya fenomena kekerasan dan tindak pidana terhadap anak menjadi suatu sorotan keras dari berbagai kalangan. Hal ini dianggap sebagai suatu indikator buruknya instrumen hukum dan perlindungan anak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 20 tentang perlindungan anak, bahwa yang berkewajiban dan bertanggung-jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. 

Korban (victims) menurut Muladi adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing- masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan. Terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak ini hendaknya perlu dipahami begitu banyak faktor yang memicu terjadinya kekerasan pada anak ini, contohnya tidak adanya kontrol sosial pada pelaku kekerasan pada anak meskipun pelaku merupakan orang tua atau kerabat dekat sekalipun, hubungan antara anak dan orang tua dianggap sebagai suatu bidang hierarki dalam hal ini dimaksudkan ada batasan komunikasi karena anak dianggap makhluk kecil yang suaranya dianggap tidak penting untuk orang dewasa, hal terakhir adalah kemiskinan yang merupakan faktor dominan yang dianggap sebagai pusat masalah sehingga anak menjadi pelampiasan amarah, ketidakpuasan, luapan kesedihan karena kemiskinan tersebut sehingga kekerasan tertuju pada anak karena tidak dapat melakukan perlawanan.

Kewajiban dan tanggung jawab Negara dan Pemerintah dalam upaya perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 21 s/d 24 yakni: 1) Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental; 2) Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak; 3) Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara umum bertanggung jawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak; 4) Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak

Upaya perlindungan terhadap anak telah dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak). Dalam Pasal 44 UU Perlindungan Anak disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak yang juga didukung oleh peran serta masyarakat. Upaya kesehatan yang komprehensif dimaksud meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, yang diselenggarakan dengan secara cuma-cuma bagi keluarga yang tidak mampu. 

Selanjutnya, dalam Pasal 45 ditegaskan bahwa orangtua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan. Dalam hal orang tua dan keluarga yang tidak mampu melaksanakan tanggung jawabnya, pemerintah dan pemerintah daerah wajib memenuhinya. Pertumbuhan fisik dan perkembangan mental anak sudah seharusnya menjadi perhatian khusus keluarga sebagai lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh anak. Dengan adanya Pasal 45 tersebut, tidak hanya keluarga yang bertanggung jawab terhadap anak, tetapi juga pemerintah dan pemerintah daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun