Lihat ke Halaman Asli

Memandang HAM, Ahmadiyah, dan Islam Secara Proporsional

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

HAM adalah piagam yang telah disahkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang telah disepakati oleh seluruh negara yang tergabung dalam organisasi internasional ini. Dari mulai negara-negara maju sampai negara-negara berkembang. Semuanya harus taat dan mematuhi semua undang-undang yang dibuat PBB. Walaupun pada kenyataannya terdapat diskriminasi, ada negara yang diuntungkan dan ada juga yang dirugikan.

Secara universal, undang-undang di dalam HAM bertujuan mulia, yaitu memperjuangkan hak dasar manusia untuk dapat hidup merdeka yang disandarkan pada standar nilai dan otoritas, tanpa adanya intimidasi dari siapa pun. Ini adalah sesuatu yang sangat baik dan perlu didukung, karena tidak ada satu orang pun yang ingin ditindas, dipaksa, dan berada di bawah intimidasi orang lain. Dalam hal ini, HAM adalah suatu perangkat hukum yang melindungi hak-hak asasi manusia yang patut diperjuangkan.

Secara normatif, HAM perlu kita dukung untuk melindungi setiap individu manusia, akan tetapi secara tindak praktis sering kali disalah tafsirkan dan disalahgunakan. HAM hanya menjadi topeng untuk melakukan hal-hal yang justru melanggar HAM. HAM hanya menjadi legitimasi dan legalitas ketika seseorang telah melakukan tindakan negatif. Oleh karena itu, kita harus proporsional dalam memposisikan HAM. Jangan terlalu condong ke kiri dan condong ke kanan, sehingga yang terjadi adalah berat sebelah.

Masalah HAM sudah lama menjadi perdebatan panjang di kalangan Muslim. Seyogyanya, kaum Muslim Indonesia juga mempunyai kesepakatan tentang hal ini. Apakah semua pasal dalam Piagam Universal tentang HAM (Universal Declaration of Human Right) itu dapat diterima oleh umat Islam. Atau kita berhak untuk tidak menerima seluruhnya. Hal ini dipertegas sendiri oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM:

Pasal 67:

“Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh terhadap peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasioanal mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia .”

Jika kita perhatikan anak kalimat dalam ketentuan di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa pranata HAM yang rerlu kita promosikan di Indonesia hanyalah pranata HAM yang diterima oleh  Negara Republik Indonesia . Ini penting karena berbicara mengenai HAM, tentu merupakan persoalan yang sangat luas dan beragam, bahkan lebih luas dari ruang berpikir kita. Begitu luasnya cakupan HAM yang dalam prakteknya sering menimbulkan pergesekan. Demikianlah pernyataan dari salah satu anggota Komnas HAM, Saharudin Daming terkait persoalan Ahmadiyah..

Dalam kasus Ahmadiyah, kita juga harus memahaminya dengan pemikiran jernih dan adil. Menurut lembaga ahli agama yang bernama MUI (Majelis Ulama Indonesia), aliran ini telah disesatkan dan menyesatkan. Lembaga yang terdiri dari ulama-ulama seluruh Indonesia ini telah sepakat bahwa Ahmadiyah telah keluar darimainstreamIslam. Karena doktrin utama aliran ini, yaitu dengan Nabi barunya bersinggungan dengan Islam yang meyakini Muhammad adalah Nabi terakhir. Dari sini, fatwa MUI itu dapat dimaklumi dengan akal sehat dan tidak perlu ada yang diragukan.

Secara tegas, KH. Cholil Ridwan (Ketua MUI) mengatakan bahwa dalam menghadapi kelompok seperti Ahmadiyah dan Lia Eden, sikap umat Islam dan dunia Islam sudah jelas, yaitu bahwa semua itu adalah aliran sesat. Seluruh dunia Islam juga tidak berbeda. MUI dan berbagai lembaga Islam internasional sudah menyatakan hal yang sama bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat yang berada di luar Islam. Fatwa MUI tentang Ahmadiyah tahun 2005, menjadikan keputusan Majma’ al-Fiqih al-Islami Orgonisasi konferensi Islam (OKI), yang diputuskan tahun 1985.

Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM), KH. Cholil Ridwan mengatakan: tidak ada hubungannya dengan hak asasi manusia, MUI sama sekali tidak memasung siapa pun untuk memeluk agama apa pun, kebebasan beragama adalah hak asasi setiap manusia.“Laa ikrooha fiddin,”tidak ada paksaan dalam urusan agama.“lakum diinukum waliyadin,”bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Jangan menanam alang-alang di kebun keluarga, tanamlah di lahan yang kosong yang masih sangat luas. Kebebasan memeluk agama bukan kebebasan merusak agama orang lain.(Republika, 8 Januari 2008)

Dari sebagian kalangan, fatwa MUI itu sangat bertentangan dengan hak asasi manusia. Menurut mereka, setiap individu berhak untuk memeluk kepercayaan apapun, tidak peduli aliran itu sesat atau tidak, dan mengganggu suatu agama atau tidak. Mereka mengatakan demikian atas dasar piagam universal tentang HAM (Universal Declaration of Human Right) yang menyatakan, “Setiap orang mempunyai hak untuk berpikir, berperasaan, dan beragama; hak ini meliputi kemerdekaan untuk menukar agama atau kepercayaan, dan kemerdekaan baik secara perseorangan maupun secara golongan, secara terbuka dan tertutup, untuk memperlihatkan agama dan kepercayaannya dengan mengerja-kannya, mempraktikkannya, menyem-bahnya, dan mengamalkannya.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline