Di pinggir jalan kecil yang ramai oleh lalu lintas kota, aroma kaldu ayam mengepul dari sebuah gerobak sederhana berwarna hijau. Di balik gerobak itu berdiri Pak Suyatno, seorang pedagang mie ayam ,yang kini dikenal banyak orang. Namun, perjalanan usahanya tidak selalu mulus. Saat pertama kali berjualan pada tahun 2010, rasa mie ayam racikannya masih dianggap biasa saja. "Awalnya pelanggan bilang kuah saya hambar, ayamnya pun kurang berbumbu. Ya wajar saja, saya masih belajar," kenangnya dengan senyum kecil.
Meski sempat merasa minder, Pak Suyatno tidak menyerah. Ia terus berusaha memperbaiki kualitas mie ayamnya. Setiap kali ada pelanggan yang memberi masukan, ia catat baik-baik. "Ada yang bilang kuahnya kurang gurih, ada juga yang minta ayamnya lebih meresap. Dari situlah saya mulai berani bereksperimen," ujarnya. Ia kemudian mencoba memakai ayam kampung sebagai bahan kaldu, karena aromanya lebih kuat dan gurih. Tidak berhenti di situ, ia juga membuat mie sendiri agar lebih kenyal dan bebas bahan pengawet.
Proses belajar itu berlangsung bertahun-tahun. Kadang ia gagal, kadang berhasil. Namun, perlahan-lahan mie ayam racikannya berubah. Rasa kuahnya semakin kaya, topping ayamnya lebih lezat, dan tekstur mienya membuat pelanggan ketagihan. "Sekarang mie ayamnya lebih mantap, Pak. Dulu biasa saja, tapi sekarang tiap makan pasti nagih," kata Dwi, seorang pelanggan setia yang sudah lebih dari lima tahun mengenal gerobak mie ayam itu.
Kini, setiap siang gerobak Pak Suyatno tidak pernah sepi. Pelanggan datang silih berganti, mulai dari karyawan kantor, pelajar yang pulang sekolah, hingga keluarga yang sengaja mampir pada sore hari. Varian yang ditawarkan pun semakin beragam: mie ayam biasa, mie ayam bakso, mie ayam pangsit, hingga mie ayam ceker yang jadi favorit anak muda. "Saya sengaja menambah variasi agar orang tidak bosan," jelasnya.
Menurutnya, ada tiga hal yang menjadi kunci keberhasilan. Pertama, rasa yang konsisten dari hari ke hari. Kedua, harga yang tetap terjangkau meski bahan baku naik. Ketiga, pelayanan yang ramah dan cepat. "Kalau pelanggan merasa dihargai, mereka akan kembali. Bukan hanya karena rasa, tapi juga karena hubungan baik," tuturnya.
Meski omzetnya kini meningkat, perjuangan bukan tanpa tantangan. Kenaikan harga bahan pokok seperti ayam, minyak, dan gas kerap menjadi beban. Belum lagi persaingan dengan warung modern dan makanan cepat saji. Namun, semangatnya tetap tidak goyah. "Saya selalu ingat tujuan awal: usaha ini untuk membiayai keluarga dan menyekolahkan anak-anak. Itu yang membuat saya kuat," kata Pak Suyatno dengan suara mantap.
Dokumentasi Pribadi tahun 2025
Bagi pelanggan, mie ayam bukan sekadar makanan. Ada yang datang karena rasanya, ada juga yang kembali karena kenangan. Seorang pelanggan lain, Rina, bercerita, "Saya sudah makan di sini sejak kuliah. Rasanya makin enak tiap tahun, dan kalau makan di sini rasanya seperti pulang ke rumah."
Kini, setelah lebih dari satu dekade, mie ayam Pak Suyatno telah bertransformasi dari hidangan biasa menjadi kuliner yang dicari banyak orang. Harapannya sederhana: suatu saat ia bisa membuka warung permanen, membesarkan usaha bersama keluarganya, dan tetap menjaga cita rasa khas yang lahir dari perjuangan panjang. "Kalau usaha ini bisa diwariskan ke anak-anak saya, itu kebahagiaan terbesar," tutupnya dengan penuh harap. Gerobak hijau di tepi jalan itu mungkin tampak sederhana, tetapi bagi banyak orang, ia adalah simbol perjuangan, ketekunan, dan cita rasa yang tumbuh dari proses panjang. Dari rasa biasa, kini telah menjadi primadona
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI