Pendahuluan
Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang baru disahkan oleh DPR pada 2 Oktober 2025 menandai babak baru dalam tata kelola korporasi milik negara. Salah satu perubahan paling fundamental adalah penghapusan ketentuan bahwa Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
Klausul ini sebelumnya menimbulkan polemik serius karena dianggap mengebiri kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menindak dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN.
Perubahan ini tidak sekadar bersifat administratif. Ia menyentuh inti konsep hukum keuangan negara, prinsip akuntabilitas publik, serta hubungan antara kepemilikan negara dan pengelolaan korporasi. Dengan demikian, revisi UU BUMN dapat dipahami sebagai koreksi struktural terhadap grey area antara domain publik dan privat dalam pengelolaan aset negara.
BUMN dalam Perspektif Hukum Keuangan Negara
Dalam konteks hukum keuangan negara, keberadaan BUMN memiliki posisi ganda. Di satu sisi, BUMN adalah subjek hukum privat yang tunduk pada mekanisme korporasi sebagaimana diatur dalam UU Perseroan Terbatas. Namun di sisi lain, seluruh kekayaan yang dipisahkan ke dalam BUMN bersumber dari keuangan negara sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 2 huruf g UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Artinya, setiap penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, atau kerugian yang dialami BUMN tetap merupakan kerugian negara, meskipun secara hukum korporasi disebut sebagai kerugian entitas bisnis. Oleh karena itu, tindakan hukum terhadap penyimpangan di BUMN tidak dapat dilepaskan dari asas public accountability yang melekat pada keuangan negara.
Selama bertahun-tahun, muncul perdebatan klasik: apakah direksi dan komisaris BUMN merupakan penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Penegasan bahwa pejabat BUMN bukan penyelenggara negara --- sebagaimana tertuang dalam Pasal 9G UU BUMN versi lama --- menciptakan kekosongan yurisdiksi yang berpotensi mengaburkan status hukum pejabat BUMN di mata KPK.
Analisis Yuridis atas Revisi UU BUMN
Revisi UU BUMN tahun 2025 secara eksplisit menghapus klausul "bukan penyelenggara negara", dan menetapkan kembali kewajiban pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) bagi seluruh jajaran direksi, komisaris, dan dewan pengawas. Dari sudut pandang hukum keuangan negara, ini merupakan langkah restoratif terhadap prinsip keterbukaan (transparency) dan tanggung jawab publik (accountability).
Secara konseptual, ada tiga landasan yuridis yang menguatkan langkah ini:
1.Prinsip Integrasi Keuangan Negara (Integrated Public Financial System)
Menurut Pasal 6 dan 7 UU Keuangan Negara, kekayaan negara yang dipisahkan ke dalam BUMN tetap berada dalam ruang lingkup pertanggungjawaban pemerintah. Karena itu, pejabat yang mengelola kekayaan tersebut harus tunduk pada prinsip fiduciary duty --- kewajiban hukum untuk bertindak demi kepentingan negara, bukan kepentingan pribadi atau kelompok.